Di antara bertahan atau pergi: #KaburAjaDulu sebagai Panggilan Generasi untuk Melarikan Diri
Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris. Klik di sini untuk versi Bahasa Inggris.
Article by Dinda Ichsani – AIYA National Blog Editor
Dalam beberapa bulan terakhir, media sosial Indonesia diramaikan dengan tagar #KaburAjaDulu. Tren ini telah menjadi simbol dari rasa frustasi, aspirasi, dan bahkan humor di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya kaum muda. Di berbagai platform seperti X (sebelumnya Twitter) dan Instagram, pengguna tidak segan berbagi kisah pribadi dan konten aspiratif yang menggambarkan keinginan untuk melarikan diri dari situasi terkini. Popularitas #KaburAjaDulu mencerminkan masalah sosial yang lebih dalam dan keinginan kolektif akan perubahan di kalangan generasi muda Indonesia.
Tren #KaburAjaDulu muncul sebagai respon terhadap berbagai tantangan di dalam negeri, seperti kurangnya peluang kerja, gaji yang rendah, dan badai PHK berkontribusi terhadap frustasi ekonomi di kalangan masyarakat Indonesia. Akibatnya, banyak anak muda Indonesia tertarik untuk bekerja dan studi di luar negeri. Momen ini juga menjadi peluang bagi agen-agen migrasi untuk mempromosikan program kerja dan kuliah di berbagai negara, seperti Work and Holiday Visa Australia, program Ausbildung Jerman, dan visa Tokutei Ginou atau Pekerja Terampil Spesifik (SSW) Jepang. Program-program ini menarik minat anak muda Indonesia dengan janji upah yang lebih tinggi, pengalaman global, kualitas hidup yang lebih baik, dan akses ke sistem pendidikan kelas dunia. Negara-negara seperti Australia, Malaysia, Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris adalah tujuan populer bagi mereka yang ingin melanjutkan studi.
Meskipun tren #KaburAjaDulu menawarkan berbagai manfaat, tren ini juga disertai dengan tantangan yang signifikan. Di sisi positifnya, mereka yang pergi ke luar negeri memiliki paparan terhadap budaya baru, kesempatan meningkatkan kemampuan bahasa, dan juga potensi pengembangan keterampilan. Pengalaman ini membuat diaspora Indonesia memiliki pandangan lebih luas dan koneksi global. Mereka juga bisa dapat gaji lebih besar dan peluang karir yang lebih baik. Pekerja migran Indonesia biasanya memperoleh penghasilan 4-6 kali lebih banyak daripada yang mereka peroleh di Indonesia. Selain itu, uang yang dikirim pekerja Indonesia di luar negeri turut berperan dalam perekonomian negara. Bank Indonesia (BI) mengungkapkan sumbangan devisa dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) pada tahun 2023 mencapai Rp227,52 triliun (US$14,22 miliar), setara dengan 1% dari total PDB Indonesia. Maka, tak heran apabila istilah “Pahlawan Devisa” disematkan kepada para pekerja imigran.
Namun, tren migrasi ke luar negeri ini juga memicu berbagai keresahan, mulai dari dampak terhadap individu hingga konsekuensi bagi negara secara keseluruhan. Pertama, risiko finansial yang terkait dengan migrasi, termasuk tingginya biaya relokasi dan biaya hidup di luar negeri. Kedua, perpisahan keluarga dan keterasingan budaya juga merupakan biaya emosional yang dapat berdampak buruk pada individu. Lebih jauh lagi, terdapat risiko eksploitasi terutama bagi mereka yang memasuki pasar tenaga kerja berketerampilan rendah di luar negeri. Selain itu, di skala nasional, dampak jangka panjang dari fenomena perpindahan ini dikhawatirkan akan menciptakan brain drain, di mana hilangnya bakat terampil yang akan mempengaruhi potensi berkembangnya Indonesia.
Sebagai seseorang yang telah menjalani kehidupan di Australia selama dua tahun menggunakan Working Holiday Visa (WHV), penulis merasakan langsung manfaat dan tantangan dari pengalaman ini.Beberapa keuntungan yang dirasakan penulis meliputi pendapatan yang memadai, lingkungan dengan kualitas udara yang baik, sistem transportasi publik yang efisien, dan pemerintahan yang berjalan dengan baik. Kehidupan di Australia juga sangat menghargai konsep keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Waktu luang penulis dapat dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas, seperti menikmati pertunjukan musik, berolahraga, atau bersantai di taman bersama teman-teman. Australia yang secara sosial sangat beragam, tidak hanya mempertemukan penulis dengan masyarakat lokal, namun juga banyak teman dari berbagai negara, seperti Korea Selatan, Vietnam, Filipina, India, dan lainnya. Sebagai seorang warga negara Indonesia, pengalaman tinggal di negeri kanguru ini sangat berharga!
Di samping berbagai manfaatnya, hidup di negara asing tidak lepas dari berbagai tantangan. Penulis kerap dilanda perasaan sepi akibat jarak yang memisahkan dari keluarga dan sahabat di Indonesia. Walaupun teknologi komunikasi modern memungkinkan untuk tetap terhubung melalui panggilan telepon dan pesan singkat, tidak adanya interaksi langsung dengan orang-orang terdekat tetap terasa berat. Kemudian, tingginya biaya hidup, khususnya untuk akomodasi dan makanan siap saji, menjadi hambatan yang harus dihadapi. Kondisi ini mengharuskan penulis untuk lebih cermat dalam mengatur pengeluaran dan mengelola kebutuhan pribadinya secara mandiri.
Pengalaman #KaburAjaDulu penulis mencerminkan realitas hidup di Australia yang memiliki sisi positif dan negatif. Meskipun menawarkan kualitas hidup yang lebih baik dan peluang pengembangan diri, tinggal di luar negeri juga memerlukan penyesuaian dan keterampilan manajemen yang baik.
Tren #KaburAjaDulu merupakan seruan untuk perubahan sistemik dan pencarian pelarian sementara. Tren ini menantang masyarakat Indonesia untuk mempertimbangkan pro dan kontra mencari peluang di luar negeri dibandingkan tetap tinggal di Indonesia. Fenomena ini juga menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidup, mendukung inisiatif pemuda, dan menciptakan lapangan kerja.
Pada akhirnya, masyarakat Indonesia menginginkan negara menjadi tempat yang lebih nyaman untuk berkembang, sekaligus dapat memperluas kesempatan pergi ke luar negeri. Keseimbangan ini akan memungkinkan pertumbuhan pribadi dan pembangunan nasional berjalan beriringan, menciptakan Indonesia yang lebih kuat dan lebih sejahtera, tempat kaum muda merasa terinspirasi untuk bertahan dan berkontribusi, daripada sekadar mencari pelarian. Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama untuk menciptakan lebih banyak peluang kerja, meningkatkan program pendidikan dan pelatihan, serta menumbuhkan lingkungan yang mendorong inovasi dan kewirausahaan di semua kalangan. Jadi, sebelum memutuskan untuk ‘kabur’, penting bagi kita untuk memikirkan matang-matang dan mempersiapkan semuanya dengan baik.