Versi Bahasa Inggris, klik di sini

Frasa Green New Deal  telah menjadi sebuah jargon politik. Setelah satu dekade ketidakjelasan, proposal iklim yang sangat komprehensif tersebut terlontar kembali ke agenda politik dengan terpilihnya Alexandria Ocasio-Cortez ke Kongres AS pada 2018. 

Setelah beberapa dekade mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim, anggaran karbon, dan target tidak mengikat yang diberlakukan sendiri, Green New Deal mengusulkan solusi baru yang mencakup semua tentang krisis iklim. 

Mengingat keunggulan Amerika Serikat dalam politik internasional, konsep Green New Deal secara alami telah dibahas di seluruh dunia. Sebenarnya, konsep Green New Deal global pertama kali dikemukakan satu dekade lalu. Lantas bagaimana prospeknya di Australia dan Indonesia?

Apa itu Green New Deal?

Green New Deal mengusulkan mobilisasi sumber daya selama sepuluh tahun untuk secara efektif memerangi tiga krisis yang dihadapi ekonomi kapitalis; perubahan iklim, ketidaksetaraan sosial, dan krisis keuangan yang disebabkan oleh praktik pemberian pinjaman yang buruk, dan jumlah kredit yang tidak diatur. Green New Deal berupaya untuk mentransisikan masyarakat menuju masa depan yang lebih hijau, melalui perubahan sistemik, di mana negara menginvestasikan sumber daya yang cukup besar ke dalam energi terbarukan, dan transformasi di semua sektor ekonomi.

Proposal tersebut didasarkan pada kebijakan ekonomi serupa tahun 1930-an, yaitu kebijakan ekonomi New Deal yang dilancarkan Roosevelt yang membantu Amerika pulih secara efektif dari krisis Depresi Besar. Dibanding status quo target emisi dan KTT iklim yang tidak mengikat, Green New Deal berupaya untuk secara bersamaan mengatasi ketidaksetaraan sosial, dan degradasi lingkungan, dengan mengintegrasikan pendekatan rendah karbon ke semua bidang kebijakan pemerintah. 

Green New Deal pertama kali diusulkan pada tahun 2007, dan dibangun oleh sekelompok ekonom yang berbasis di London setelah krisis keuangan tahun 2008. Setelah sepuluh tahun absen, pemilihan Ocasio-Cortez telah membawa usulan itu kembali ke dalam agenda. 

Green New Deal di AS saat ini bertujuan untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2030, dan menciptakan jutaan pekerjaan dengan gaji tinggi selama prosesnya, melalui jaminan pekerjaan. Hal ini, kemudian, akan mengatasi ketidaksetaraan sosial, dengan memberi kelompok-kelompok tertindas sarana keuangan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Alexandria Ocasio-Cortez berbicara pada peluncuran Green New Deal. Gambar: Senat Demokrat

Green New Deal di Indonesia?

Meskipun Indonesia belum berkomitmen untuk Green New Deal, proposal Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon-nya memiliki banyak aspirasi yang sama dengan Green New Deal. Proposal tersebut dikembangkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia, dan mengusulkan tiga model pembangunan rendah karbon, dengan yang paling ambisius dari ketiganya yang melibatkan strategi 25 tahun menuju ‘Indonesia Emas’ pada tahun 2045. 

Sekalipun model ini masih kurang dibanding mobilisasi 10 tahun yang diusulkan di bawah Green New Deal  AS, proposal tersebut melibatkan mekanisme penetapan harga karbon, penghapusan deforestasi, dan transportasi nol karbon, sehingga memiliki ‘Ambisi Setingkat Green New Deal‘. 

Dengan Presiden Joko Widodo yang berupaya untuk menetapkan penetapan harga karbon, deklarasi Bali sebagai provinsi energi bersih, dan penurunan deforestasi yang signifikan, The Jakarta Post berpendapat bahwa Green New Deal adalah ‘mimpi yang mungkin’ di Indonesia.

Dalam konteks dampak ekonomi global dari pandemi COVID-19, yang sangat terasa di seluruh Asia Tenggara, artikel terbaru di The Diplomat menganjurkan pemulihan yang mengintegrasikan teknologi berkelanjutan ke dalam stimulus ekonomi. Sembari mengingat tentang dampak industri bahan bakar fosil di negara pengekspor batu bara seperti Indonesia, artikel tersebut menyoroti potensi tenaga surya dan angin yang sangat besar di Indonesia. 

Walaupun Indonesia tetap menjadi negara pengekspor batu bara, tingkat ambisi yang ada dalam Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon membuat Green New Deal dapat dicapai.

Green New Deal bertujuan untuk mengurangi emisi karbon secara drastis. Gambar: Pixabay

Green New Deal di Australia?

Partai politik Australia The Greens telah menyerukan Green New Deal di Australia, dengan alasan bahwa Australia membutuhkan ‘rencana tindakan yang berani’ untuk mengatasi emisi karbon, ketidaksetaraan dan pengangguran. Partai tersebut bertujuan untuk menghentikan penggunaan  batubara pada tahun 2030, sehubungan dengan jangka waktu 10 tahun Green New Deal di Amerika. 

Terlepas dari tingkat ambisi yang ada dalam proposal yang diajukan oleh The Greens, anggaran federal pemerintah Koalisi baru-baru ini mengalokasikan dana empat kali lebih banyak untuk sektor bahan bakar fosil daripada yang dialokasikannya untuk sektor energi bersih. 

Alih-alih pembaruan yang diinisiasi oleh energi terbarukan, pemerintah telah memprioritaskan pembangkit listrik tenaga batu bara, dan sedang mengupayakan transisi dari bahan bakar fosil yang diinisiasi oleh penggunaan gas.

Terlepas dari penolakan saat ini terhadap pemulihan dari pandemi yang lebih ramah lingkungan, banyak orang di Australia yang menyerukan peningkatan nyata dalam energi terbarukan. Sebuah survei baru-baru ini menemukan bahwa lebih dari ¾ direktur perusahaan Australia mendukung investasi skala besar dalam energi terbarukan. Setelah musim kebakaran hutan yang menghancurkan di musim panas lalu, banyak orang Australia mulai melihat urgensi dari aksi untuk iklim.

Baik di Australia dan Indonesia, keinginan untuk masa depan yang lebih berkelanjutan masih ada, dengan proposal Green New Deal atau yang serupa ditemui di kedua negara. Walaupun masih ada banyak hambatan, Indonesia secara khusus telah mengambil langkah-langkah menuju ambisi iklim yang selevel dengan Green New Deal.