Versi Bahasa Inggris, klik di sini.

Ditulis oleh Meylisa Sahan – AIYA Member

Ilustrasi sampul diadaptasi dari film pendek ‘Turut Berduka Cita”. (credits: Candra – AIYA National Graphic Designer)

Klik di sini untuk menonton filmnya.

Kita semua pernah sekali seumur hidup mengunjungi rumah kerabat yang berduka karena kehilangan anggota keluarganya. Berbondong-bondong orang ramai datang memberikan ucapan turut berduka cita dan ikut berbelasungkawa lengkap menggunakan baju warna gelap sebagai simbol kesedihan. Di luar rumah duka berbagai karangan bunga dari dengan berbagai ucapan ada di setiap sudut, rasanya ucapan langsung kurang puas tanpa bunga. Inilah sketsa yang paling ideal kita temukan ketika berkunjung ke rumah duka.

Turut Berduka Cita adalah salah satu film yang dikemas secara sederhana namun memiliki pesan moral yang sangat tinggi berkaitan dengan kehilangan seseorang. Selama ini ketika menonton film yang menceritakan tentang “ditinggal” tokoh utama akan ditampilkan dalam keadaan menangis tersedu-sedu, mengurung diri, murung dan menjadi pasif. Sementara di film ini, sosok Maria yang sedang mengalami duka mendalam akibat ditinggal ayahnya direpresentasikan berbeda. Ia digambarkan sangat kuat, tegar dan ikhlas dengan keadaan ini seolah-olah Maria sebenarnya sudah siap, ini terlihat dari ia yang begitu tenang menjelaskan kisah yang sama tentang detik-detik kematian ayahnya dengan baik kepada setiap tamu. Ceritanya sama, mulai dari serangan batuk dan sesak nafas, dikasih obat di bawah lidah, dibawa ke rumah sakit, pertanyaan sudah mandi atau belum, makan mie ayam depot Mas Agus sampai dengan meninggal jam dua belas malam. Maria sedang membuat konferensi pers, sepertinya.

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah template Maria ini? Jawabannya, empati. Kita tidak melihat rasa empati dalam film ini, tidak ada bahkan sejak detik pertama film ini dimulai. Hal ini semakin diperkuat dengan jawaban dari setiap pelayat yang membandingkan pengobatan satu dengan yang lain, menuduh bahwa obat yang diberikan dokter tidak bagus karena ada banyak bahan kimia seolah-olah usaha yang dilakukan keluarga Maria selama ini sia-sia, lalu membahas soal pola makan almarhum dan yang paling menyebalkan adalah seorang wanita yang datang melayat mengatakan dengan mudah “dia sudah terlalu banyak menderita, mungkin ini jalannya” – yang sebenarnya tidak perlu diucapkan kepada orang-orang yang baru saja kehilangan.

Dilansir dari klikdokter.com kalimat “Sudah Jalan Tuhan” adalah salah satu dari sekian banyak kalimat yang sangat tidak baik untuk disampaikan di rumah duka. Yah, sederhananya semua orang ingin terus bersama keluarganya, jika bisa mereka tentu minta jalan Tuhan dipermudahkan agar tetap bersama bukan? Artikel ini membuat saya mengambil kesimpulan pribadi bahwa, masih banyak orang di luar sana yang butuh dijelaskan, diberitahu tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika pergi ke rumah duka. Hal berduka saja kita masih harus diingatkan, seolah-olah kematian pun tidak memberikan jaminan bahwa seseorang akan lepas dari pandangan orang lain. Tiap kali adegan pelayat muncul, saya dalam hati selalu berteriak “peka dong!” – berfoto dengan seseorang yang berduka adalah tindakan yang paling tidak sopan juga menurut saya, apa esensinya?

Film ini membawa misi yang simple, tentang pola kebiasaan masyarakat kita sejak dulu sampai sekarang ketika datang ke rumah duka. Ini adalah potret dari kebiasaan yang terus dibawa dan dilakukan tanpa sadar. Orang berduka sebenarnya hanya ingin berduka, mereka sebenarnya tidak ingin menjelaskan kisah kematian berulang-ulang kali karena itu menyakitkan belum lagi respon yang diterima malah terkesan menggurui. Saking seringnya ditanyai, Maria malah bingung menghadapi seorang pria yang datang dan menceritakan kebaikan almarhum lalu kemudian menangis tersedu-sedu. Ini yang seharusnya dilakukan orang-orang sebelumnya, jika tidak menangis yah paling tidak fokuslah membahas kebaikan almarhum atau paling bagus tidak bertanya apapun.

Saya sangat menikmati film pendek ini, bahkan selamanya akan menjadi patokan pribadi ketika datang ke rumah duka untuk menjaga lisan dan perilaku. Kekuatan dialog lagi-lagi menjadi hal paling penting dalam film ini, tidak banyak mengeksplor angle kamera tapi pergantian pemain dan respon yang selalu berbeda adalah kunci yang utama dari seluruh kisah dalam film ini.

Suatu saat jika melayat pastikan untuk datang, ucapkan duka dan pulang.