Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terusmenerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita, lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam. – Raden Ajeng Kartini

Kutipan tersebut di atas dikirimkan R.A. Kartini melalui sepucuk surat kepada salah satu sahabat penanya di negeri Belanda. Tidak semua surat Kartini terdengar familiar di telinga kita, namun semangat juang yang dimiliki oleh Kartini dapat tergambar jelas dari setiap kata yang tertulis di surat-suratnya.

Nama Kartini bukanlah sosok kemarin sore, terlebih lagi setelah surat-suratnya dibukukan oleh seorang Belanda bernama J.H. Abendanon yang kagum akan semangat juang dan kerinduan Kartini akan kebebasan dari pengekangan dan penindasan hak kaum perempuan untuk mengembangkan diri pada masa itu.

Penny Robertson. Foto: Australian International School

Penny Robertson. Foto: Australian International School

Peringatan Hari Kartini, yang jatuh pada tanggal 21 April, memang sudah berlalu, namun euforianya masih terasa sampai saat ini. Dari tahun ke tahun, beragam acara diadakan untuk mengenang perjuangan Kartini yang dianggap sebagai ikon kebebasan bagi perempuan-perempuan Indonesia masa kini. Selain itu, bermunculan pula para aktivis perempuan yang memiliki fokus dan perhatian terhadap isu-isu terkait perempuan. Namun sepertinya di era yang sudah modern ini, semangat Kartini tidak hanya bermakna dari perempuan untuk perempuan saja, tetapi juga bagaimana perempuan mampu menjadi agen perubahan bagi dunia. Maka, adalah Penny Robertson, seorang perempuan tangguh yang memiliki kontribusi besar di bidang pendidikan bagi anak-anak dengan keterbatasan fisik Down syndrome, yang kemudian juga berjasa bagi hubungan Indonesia-Australia.

Meskipun berbeda dalam konteks temporal dan spasialnya, terdapat kesamaan antara sosok Kartini dan Robertson. Ia berkontribusi besar dalam perkembangan dunia pendidikan, terutama pendidikan bagi anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik dan mental. Hal ini membuat sosok Robertson memiliki pengaruh yang signifikan bagi terjalinnya hubungan Indonesia dan Australia. Selama 30 tahun terakhir, Robertson telah mengabdikan dirinya untuk mengembangkan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, mulai dari skala lokal, nasional, hingga internasional.

AIS-logo@2xMengawali karirnya sebagai seorang ahli geologi, Robertson kemudian aktif dalam dunia pendidikan sebelum terjun dan memprakarsai pendirian Australian International School (AIS) di Indonesia. Sebelumnya, ia berprofesi sebagai dosen bagi Adult Education di Adelaide University dan guru bagi South Australian Education Department ketika putrinya, Shona, lahir dengan Down syndrome di tahun 1981. Apa yang dialami oleh putrinya kemudian justru menginspirasi Robertson untuk membentuk South Australian Down Syndrome Association. Ia menjabat sebagai ketua umum organisasi tersebut dari tahun 1982-1994, serta memperluas cakupan organisasinya ke seluruh Australia, sehingga berganti nama menjadi Australian Down Syndrome Association. Pencapaiannya dihargai oleh Pemerintah Australia dengan diberikannya penghargaan Member of the Order of Australia kepada Robertson atas pengabdiannya di dunia pendidikan.

Organisasi ini memiliki visi untuk membuka kesadaran masyarakat terhadap para penderita Down syndrome bahwa mereka memiliki potensi yang sama dengan orang normal pada umumnya. Pada awal tahun 1994, Robertson berhasil memperluas cakupan oranisasinya menjadi Asia Pacific Down Syndrome Federation, yang beranggotakan negara-negara di kawasan Asia Pasifik seperti diantaranya Australia, India, Vietnam, Hongkong, termasuk Indonesia.

Keberhasilannya dalam Asia Pacific Down Syndrome Federation melandasi pembentukan AIS pada tahun 1994 di Jakarta dengan tujuan agar anak-anak yang memiliki keterbatasan, baik secara fisik maupun mental, dapat mengenyam pendidikan yang sama seperti pendidikan yang didapatkan oleh anak-anak pada umumnya. Minimnya institusi pendidikan lokal yang menyediakan pengajaran dengan kurikulum yang setara bagi para anak berkebutuhan khusus menginspirasi Robertson untuk membentuk AIS di Indonesia. AIS Jakarta adalah satu-satunya sekolah berstandar internasional di Indonesia yang mencantumkan keterbatasan fisik dan mental sebagai salah satu syarat utama bagi para muridnya. Kesuksesan AIS Jakarta mendorong Robertson untuk membuka AIS di beberapa kota lain di Indonesia, seperti Bali dan Balikpapan. Pada saat ini, tercatat sekitar 850 anak berkebutuhan khusus terdaftar dan bersekolah seperti anak-anak pada umumnya di AIS Indonesia.

Dalam pengembangan sekolah yang sudah didirikan sejak tahun 1994, Robertson tetap mengutamakan konsultasi dengan Pemerintah Indonesia terkait kurikulum yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini kemudian menjadi sumbangan terbesar Robertson bagi hubungan Indonesia dan Australia di bidang pendidikan.

Kepercayaan Pemerintah serta masyarakat Indonesia yang sempat terusik oleh beberapa isu, seperti permasalahan Timor Timur, tuduhan David Jenkins, jurnalis harian The Sydney Morning Herald terhadap Soeharto dan kerabatnya, serta beberapa issu lain menjadi semakin memulih. Kombinasi hubungan yang baik antara people to people dan government to government merupakan strategi yang tepat untuk menetralisir berbagai ketegangan diplomatik yang pernah muncul antara Indonesia dan Australia.

Robertson memahami bahwa dengan menjalin hubungan baik dengan Indonesia, sistem pendidikan antara kedua negara dapat saling melengkapi melalui pengadopsian sistem pendidikan Australia yang cukup unik untuk meningkatkan kemampuan berpikir yang kreatif dan independen. Memang di tahun 2016, Robertson dianugrahi Australia Indonesia Awards 2016 oleh Australia Indonesia Association (AIA) atas prakarsanya yang baik terhadap kemajuan hubungan bilateral kedua negara.

Informasi selanjutnya mengenai AIS dapat ditemukan di sini.