Catatan: Penulis tidak mendukung konsumsi berlebihan minuman beralkohol atau zat apapun.

Dirangkum dan ditulis oleh Fachri Maulana.

Diterjemahkan oleh Adolf, edit oleh Meylisa

Bayangkan jika kita berada di dalam sebuah pesta yang berisikan semua negara-negara Asia, pasti inilah yang akan terjadi: Jepang akan menjadi si anak populer yang membagikan minuman kepada teman-temannya, Korea Selatan akan merayu seorang gadis dengan sebotol soju di tangannya. Thailand, Filipina dan China menari diatas meja pingpong, India tertidur di sofa karena mabuk berat, sementara itu Indonesia duduk sendirian ditemani sekaleng diet coke. 

Silahkan hadir ke acara apapun di Indonesia – entah perayaan kemerdekaan, ulang tahun atau perayaan apapun dan kamu mungkin tidak akan menemukan minuman beralkohol seperti bir, wine dan lain sebagainya. Jika kamu heran mengapa demikian, karena pada dasarnya meminum alkohol bukanlah bagian dari budaya masyarakat Indonesia. 

Bagaimana bisa sebuah negara yang menduduki peringkat keempat populasi terbesar di dunia dengan 250 juta orang hanya memiliki sekitar 500 ribu orang yang mengonsumsi minuman beralkohol?

Grafik 1 – Proporsi konsumsi berbagai jenis minuman di Indonesia, 2014

(Data diperoleh dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia)

Melalui grafik ini, kamu akan menemukan jumlah orang yang mengonsumsi alkohol di Indonesia hanya sebanyak 0.2 % dan menduduki daftar terakhir. Angka ini berbeda jauh dari jumlah konsumsi kopi instan, serbuk instan (sebentar, ini beneran?) dan teh instan yang jumlahnya menembus angka 31,2%.  

Namun, tidak selamanya seperti ini. Ada keadaan dimana grafik ini akan terlihat berbeda dengan bir di posisi teratas dan minuman manis ada di posisi terbawah di industri minuman.

Lalu, apa yang terjadi?

Guna menjawab pertanyaan ini dan memahami apa yang terjadi saat ini, sangat penting bagi kita untuk kembali ke masa lalu. Hal ini akan membantu kita untuk memahami masa kejayaan minuman beralkohol di Indonesia. 

Percaya atau tidak, Indonesia memiliki sejarah panjang terkait minuman beralkohol. Selain kopinya yang terkenal, Indonesia memiliki berbagai jenis minuman alkohol tradisional yang khas yaitu Sopi, Ciu dan Arak – minuman tradisional Bali.   

Risyiana Muthia, dalam tulisannya berjudul Indonesia’s Local Spirits : Alcohol’s History and Geography In The World’s Largest Muslim Nation menjelaskan bahwa sejarah minuman beralkohol di Indonesia telah ada sejak abad ke-9. Kisah ini dapat ditemukan dalam ukiran di candi-candi Buddha di Yogyakarta yang menggambarkan para pedagang dan bangsawan sedang minum bersama. 

Sejarawan percaya bahwa Yingya Shehlan yang memimpin operasi angkatan laut Cina ke Majapahit pada abad ke-15 melihat beberapa penduduk desa sedang mabuk dengan Tuak – minuman tradisional di Jawa Timur. 

Lalu, pada tahun 1929…..


Poster-poster iklan pertama dari Bir Bintang. Sumber: Perpustakaan Nasional RI 

Produsen bir asal Belanda, Heineken, membuka pabrik pertama mereka di Indonesia. Perusahaan ini pula yang memulai merek bir paling terkenal di Indonesia, Bintang. Menariknya, bir muncul lebih dulu ketimbang teh kemasan di Indonesia karena PT Sinar Sosro tidak meluncurkan Teh Botol hingga tahun 1940-an. Itu artinya, bir merupakan ‘senior’ minuman kemasan dalam sejarah Indonesia. Luar biasa!

Presiden Pakistan, Ayub Khan, minum sampanye dengan Presiden Sukarno, 1964, arsip dari Nadeem Farooq Parcha. 

Rempah-rempah tropis di Indonesia seperti jahe, pala dan kayu manis sebagai bahan utama pembuatan minuman beralkohol ini memberikan banyak ruang untuk kreativitas produk ini. Berkat rempah-rempah ini pula, orang Eropa bisa membuat Glühwein dan minuman beralkohol berbumbu lainnya. Perkembangan bisnis minuman beralkohol di Indonesia semakin berkembang dengan adanya bantuan jalur perdagangan Eropa. Suksesnya bisnis ini juga membuat berbagai pulau di Indonesia kemudian memiliki minuman alkoholnya masing-masing. 

Lalu, mengapa hanya sedikit orang Indonesia yang minum alkohol?

Pada tahun 1993 ketika masa pemerintahan Presiden Suharto, industri minuman beralkohol ditutup dan pemodal asing tidak diperbolehkan berinvestasi di industri ini. 

Kemudian, segalanya menjadi lebih buruk. (aku minta ini dipertimbangkan untuk masuk di dalam tulisan ini atau tidak)

Lalu, tahun 2013 sejumlah kelompok berusaha untuk meloloskan undang-undang yang melarang konsumsi minuman beralkohol di Indonesia. Tindakan mereka bisa dikatakan cukup berhasil karena pada akhirnya terbit peraturan baru yang mengizinkan minuman beralkohol dijual dalam jumlah yang terbatas. Pada tahun 2015, minuman impor beralkohol dikenakan pajak sebesar 150% – salah satu yang tertinggi di dunia. Akibatnya, bir semakin sulit diakses oleh masyarakat. Sebotol Krating Daeng (semacam RedBull)dikenai harga Rp 8.000,- (~ A$ 0,80). Sedangkan harga sekaleng bir (250ml) Rp 24.500 (~ A$ 2,45) – tiga kali lipat dari harga minuman energy. Nah, kira-kira kamu akan beli yang mana? 

Jika dilihat dari sudut pandang budaya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas Islam tentu akan menolak keras minuman beralkohol. Ini kemudian menjadi semacam penghalang sosial yang mencegah bir dan minuman beralkohol lainnya berkembang di Indonesia. Selain itu ada pergeseran kesukaan – orang Indonesia lebih menyukai minuman manis. Pernyataan ini didukung oleh data pada tahun 2013 yang menyebutkan bahwa jumlah penderita diabetes di Indonesia sudah menginjak angka 10 juta orang. Penyakit ini juga ternyata telah menjadi masalah di Indonesia kurang lebih sejak tahun 1980-an. 

Walaupun demikian, ada pengecualian tertentu untuk aturan ini, misalnya Tapai (Tape). Hidangan populer ini terbuat dari ketan dan ragi yang difermentasi. Tapai memiliki jumlah alkohol yang melebihi batasan yang diizinkan oleh beberapa agama. Meski demikian, Tapai adalah makanan yang cukup banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Tapai, kecap asin dan beberapa bahan makanan lain masih dalam kategori yang abu-abu (untuk batasan alkohol) dan diterima oleh orang Indonesia. Apa mungkin karena makanan-makanan ini tidak memabukkan Anda?  

Tape – whattocooktoday.com

Budaya Indonesia telah mengalami banyak perubahan besar dalam hal agama, politik dan bisnis termasuk eksistensi alkohol di Indonesia saat ini yang jauh berbeda dibandingkan dulu. Perubahan ini mungkin tidak akan sepenuhnya mematikan industri minuman beralkohol. Tapi yang jelas, perubahan ini akan mempengaruhi cara pandang masyarakat Indonesia tentang minuman beralkohol. Walaupun begitu, sebagai sejarah hal ini tidak boleh dilupakan begitu saja. 

Jika kamu menyukai artikel ini, silahkan untuk membaca topik kami lainnya termasuk perencanaan keuangan di Indonesia dan tren bersepeda yang sedang marak di Indonesia. Jika kamu ingin mendapatkan informasi rutin tentang AIYA, silahkan berlangganan surat kabar kami.