Oleh Fahry Slatter – AIYA National Blog Editor

Diterjemahkan oleh Gabriella Pasya – AIYA National Translator

Versi Bahasa Inggris, klik disini.

Bagaimana satu-satunya perusahaan yang mampu memproduksi vaksin di Indonesia mendapatkan ilmunya, dan bagaimana kolonialisme menjadi asal mula praktik farmasi modern. 

Yang membuat penyakit menjadi mematikan di masa lalu, adalah tidak ada yang tahu apa itu penyakit. Anda akan bangun suatu hari dan seluruh lingkungan Anda tiba-tiba terserang penyakit, dan teman serta tetangga Anda satu persatu mulai sekarat. Satu-satunya pilihan Anda adalah menyalahkan penyihir yang marah, suku saingan, atau penduduk desa yang tidak Anda sukai. Meski terdengar gila, banyak pemahaman kita tentang praktik kefarmasian yang pada akhirnya membawa kita untuk mengembangkan vaksin COVID-19, sebenarnya berawal dari penjajahan Belanda terhadap Indonesia.

Jadi, bagaimana yang berawal seperti ini:

 

Berakhir menjadi ini?

Mari kita pahami konteksnya terlebih dahulu.

Sebelum kita memiliki Indonesia seperti yang kita kenal sekarang, kita memiliki untaian pulau-pulau, dan hubungan-hubungan kecil yang dimiliki pulau-pulau ini disatukan oleh lem tipis yang adalah imperialisme Belanda. Mereka dikenal sebagai pulau di timur India, atau Hindia Belanda. 

Pada abad ke-16, sekelompok pedagang kaya Belanda berlayar ke Asia Tenggara.Di sana lingkungannya sangat kompetitif, karena perdagangan mereka harus bersaing dengan pedagang- pedagang lain seperti dari Inggris, Portugis, dan Spanyol. Pedagang Belanda ingin menghindari orang-orang tersebut, maka mereka mengarahkan pandangan mereka pada sebuah koloni Portugis kecil di Indonesia Timur, yang tertarik untuk berdagang cengkeh, kira-kira di sini di sebuah tempat bernama Amboina, yang sekarang disebut Ambon:

Source: Amobina ad viumu descripta, Johannes Isacus Pontanus 1599

Belanda mulai berdagang cengkeh dan rempah-rempah lainnya dengan penduduk asli Amboina, dan hubungan bisnis mereka sangat baik. Orang Amboin lebih suka berdagang dengan Belanda daripada Portugis, dan orang Belanda negaranya melihat peluang bisnis di sini. Untuk benar-benar memantapkan diri di wilayah tersebut, mereka mendirikan organisasi yang disebut Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). 

 

Baca juga:

 

Kemudian, VOC melakukan apa yang dilakukan oleh semua orang Eropa yang berkuasa saat itu, yaitu melihat suatu budaya, mendekati mereka dan berkata; “Kami pikir kami bisa melakukan ini dengan lebih baik. Izinkan kami untuk mengambil alih dari sini ”. Bisnis mereka kemudian menyebar ke seluruh Indonesia, dan Bali adalah salah satu pulau pertama yang memulai perdagangan dengan VOC. Mereka segera mengambil alih rantai pulau ini dan menyebutnya Hindia Belanda. Sejarah memberi tahu kita bahwa kekuatan Eropa pada saat itu tidak tertarik untuk membantu penduduk setempat atau meningkatkan kehidupan mereka. Jika Anda penduduk asli, satu-satunya peluang kerja yang tersedia adalah menjadi pelayan, atau membajak ladang di tanah yang tidak Anda miliki.

Saat itu awal 1700-an dan VOC telah berkembang pesat secara eksponensial. Mereka mengumpulkan harta dalam jumlah besar dan menjadi sangat kaya, berkat rempah-rempah dan kepemilikan atas jalur perdagangan yang spesifik. Itu adalah masa kejayaan mereka dan Kompeni berada di puncaknya. Bisnis berkembang pesat dan Hindia Belanda menjadi koloni yang berharga. Tetapi mereka juga mulai tertarik pada urusan penduduk asli, mereka mulai ikut campur dalam urusan politik lokal dan mendiversifikasi bisnis mereka, dari perdagangan ke politik. 

 

Jadi, apa hubungannya dengan COVID-19 dan vaksin? 

Pada 1733, penyakit misterius bernama Malaria menyerang salah satu pelabuhan perdagangan utama mereka, Batavia, dan merenggut nyawa 85.000 personel VOC. Epidemi pecah dan para pelaut, tentara, pedagang, dan pengrajin Belanda yang ditempatkan di Batavia berjatuhan seperti lalat. Hal ini menghambat operasi VOC, karena angka kematian telah meningkat sangat tinggi sehingga tidak ada cukup pelaut untuk melayarkan kapal kembali ke Belanda. Tenaga kerja dan buruh mati dengan lebih cepat dibanding waktu mereka untuk mengirim barang. Para penguasa di Belanda mengetahui apa yang terjadi, dan meminta bantuan profesional medis. Dari mana asalnya bukanlah masalah, tetapi mereka memahami fakta bahwa penyakit ini merusak koloni mereka yang paling berharga dan ingin seseorang menemukan obatnya, dengan cara apa pun yang diperlukan.

Jumlah karyawan perusahaan VOC yang meninggal di Batavia (van der Burg, 1997). Perhatikan lonjakan tiba-tiba di tahun 1733.

Tak lama kemudian, para profesional medis, dari Prancis, Jerman, Belanda, semuanya datang ke Indonesia / Hindia Belanda…..dan mulai sungguh- sungguh peduli pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Kekuasaan Eropa benar-benar berinvestasi dalam penelitian medis di seluruh pulau di Indonesia dengan harapan menemukan obat untuk penyakit “Malaria” ini. Para ilmuwan yang menghabiskan waktu meneliti akan mengumpulkan data dan menginisiasi pemahaman kita tentang bakteri, virus, dan praktik farmasi.

Sementara semua itu terjadi di latar belakang, VOC sedang berjuang keras dan berada di ambang kebangkrutan. Pemerintah Belanda melihat hal ini dan memutuskan untuk mengambil alih dari mereka dan menjajah Indonesia sendiri pada tahun 1799. Walaupun VOC berangsur-angsur bubar, para dokter dan ilmuwan tetap tinggal dan melanjutkan penelitiannya. 

Indonesia adalah tempat yang ideal untuk mempelajari penyakit dan bahkan memiliki obat yang dibutuhkan untuk menyembuhkannya. Belanda akan membuka institut medis Belanda di jalan Postweg, Bandoeng, yang disebut Parc-vacinogène. Institut ini adalah salah satu sekolah kedokteran paling awal di Indonesia, yang pada awalnya menarik para dokter dan ilmuwan kolonial yang bertugas menemukan obat untuk penyakit tropis.

Salah satu Institut Biomedis paling awal di Asia Tenggara, Parc-vacinogène, Bandoeng. 

Seorang dokter dari Perancis pada tahun 1885, bernama Louis Pasteur, yang ditempatkan di Bandoeng, menemukan vaksin untuk Rabies dan membuka kembali Institut Pasteur di Prancis. 

Tak lama kemudian, ia mendapat permintaan untuk kembali ke Indonesia dan mengunjungi Institut Kedokteran Belanda, Parc-vacinogène, di Bandoeng untuk merawat 14 anak yang terjangkit Rabies. Dia memperkenalkan konsep vaksin kepada mereka, dan dia membantu memajukan institut tersebut, mendidik para peneliti di sana, membagikan pengetahuannya dan mengembangkan para ilmuwan. Tak lama kemudian, institut tersebut membuat penelitian yang menarik dan penemuan inovatif tentang bakteri, parasit, virus, dan cara mencegahnya menggunakan vaksin.

Dokter dari Belanda memberi Vaksin, Malang (1910)

Institut Parc-vacinogène yang kecil, yang menempati sebuah rumah di Bandoeng, tumbuh menjadi Parc-vacinogène en Instituut Pasteur. Kemudian setelah Kemerdekaan Indonesia, merdeka berkembang menjadi PT. Bio Farma yang kita kenal sekarang sebagai perusahaan yang memproduksi dan mendistribusikan vaksin Sinovac, yang saat ini memvaksinasi 270 juta rakyat Indonesia. 

PT. Bio Farma, saat ini merupakan satu-satunya perusahaan di seluruh Indonesia yang mampu memproduksi vaksin. Mereka adalah perusahaan yang revolusioner, dan kemampuan serta keterampilan mereka semuanya adalah berkat seorang dokter, dan inisiatif penguasa kolonial untuk memulai sebuah institut medis pada tahun 1890-an. Faktanya, mereka adalah salah satu dari sedikit perusahaan yang memenuhi syarat dan memiliki lisensi untuk memproduksi vaksin (termasuk vaksin COVID-19) di seluruh dunia – hal ini dikonfirmasi secara sah oleh organisasi kesehatan dunia, WHO (World Health Organization).

Warisan panjang ilmuwan Eropa dan Institut Kedokteran Belanda, memberi kitai dasar yang dibutuhkan untuk memahami vaksin dan bagaimana cara kita dalam memerangi virus dan penyakit. Institut ini mendidik dokter dan ilmuwan yang ilmunya dalam waktu 100 tahun akan diteruskan untuk melawan pandemi global demi Indonesia dan dunia. Pasteur hanyalah salah satu peneliti. Perlu juga dicatat bahwa banyak lulusan Eropa dari institut ini bekerja untuk perusahaan farmasi yang pada akhirnya akan mengembangkan vaksin Johnson & Johnson modern. Misalnya seperti pria di balik vaksin Johnson & Johnson sebenarnya lulusan sebuah institut medis Eropa yang dibentuk karena penjajahan di daerah tropis.

Parc-vacinogène en Instituut Pasteur telah berkembang menjadi BioFarma sekarang. Bangunan yang sama masih berdiri dengan arsitektur asli Belanda yang terletak di Asia-Afrika, Bandung. 

Jika Anda masih belum sepenuhnya mengerti: Malaria yang membunuh kolonialis Belanda di Indonesia mengarah pada investasi dalam penelitian medis, yang menyebabkan para ilmuwan ditempatkan di Indonesia untuk menemukan obatnya, dan para ilmuwan itu akan membuka lembaga medis, dan lembaga-lembaga medis itu akan berkembang menjadi satu-satunya perusahaan yang memproduksi dan mendistribusikan vaksin Sinovac di Indonesia.