Ditulis oleh Lotte Troost – AIYA National Blog Editor

Diterjemahkan oleh Thomas Shears – AIYA National Translator, versi Bahasa Inggris klik disini.

Selain menjadi hari Sabtu pertama pada bulan Oktober, tanggal 2 Oktober 2021 juga menandai perayaan tahunan batik yang ke-11; sebuah tradisi bersejarah dari Indonesia.

Dua belas tahun yang lalu, pada tanggal 2 Oktober 2009, UNESCO menetapkan batik sebagai Mahakarya Warisan Budaya Lisan dan Takbenda Manusia (bahasa Inggris: Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Semenjak saat itu, tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional (bahasa Inggris: National Batik Day) untuk memperingati penetapan ini serta memberikan perhatian tambahan kepada ikon Indonesia yang paling terkenal ini.

Kata ‘batik’ sering digunakan sebagai istilah umum untuk teknik pewarnaan tahan lilin yang diaplikasikan pada kain katun dan sutra, atau untuk merujuk kepada kerajinan yang dibuat menggunakan teknik ini. Kata ‘batik’ sendiri berasal dari bahasa Jawa, yaitu mbat (lempar) dan tik (titik), dengan demikian kata tersebut merupakan kata kerja dan juga kata benda.

Batik, terutama batik tulis, adalah sebuah teknik yang membutuhkan banyak waktu dan tenaga serta bisa saja menghabiskan waktu satu tahun untuk menyelesaikannya. Lagipula, batik memiliki makna filisofis yang sangatlah dalam dengan beragam motif dan warna yang membawa berbagai simbolisme religius dan kultural.

Kerajinan yang begitu kaya simbolisme, nilai sejarah, serta corak dan warna yang indah tidak luput dari perhatian mancanegara. Batik adalah salah satu cendera mata yang paling populer untuk dibawa pulang sebagai pengingat akan Indonesia. Jika ada satu kata bahasa Indonesia yang akan Anda ingat dari kunjungan Anda ke kota-kota seperti Yogyakarta, Solo, atau Cirebon, itu adalah ‘batik’.

Dari segi ekonomi, batik juga memegang peranan penting. Menurut Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu), ekspor batik bahkan meningkat selama pandemi, dengan Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa sebagai importir utama. Sesuai dengan tujuan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengakuan dunia terhadap batik, Kemlu berupaya memperkuat diplomasi batik Indonesia di luar negeri. Selain itu, dalam pidatonya pada Hari Batik Nasional 2019, Presiden Jokowi mendorong masyarakat Indonesia untuk berkomitmen pada pelestarian dan pengembangan batik sebagai salah satu elemen budaya negara.

Berfokus pada orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, seberapa terkenalkah batik di daerah mereka? Apa saja peran batik dalam kehidupan mereka di luar negeri? Mari kita lihat sekeliling dunia!

Amerika Serikat

Anggi Auliyani Suharja adalah pengajar bahasa Indonesia dalam program Fulbright di Universitas Columbia, New York. Wajah Anggi tak asing lagi: ia menjabat sebagai wakil presiden AIYA Jawa Barat hingga November 2020.

Meski Anggi baru saja pindah ke New York, jadwalnya sudah padat dengan kuliah dan kegiatan ekstrakurikuler. Oleh karena itu, dia belum menemukan waktu untuk menjelajahi kota dan mencari toko batik. Tapi sepertinya mencari toko batik lokal tidaklah mendesak, karena Anggi membawa banyak barang batik dalam perjalanannya ke Amerika Serikat.

 “Saya membawakan baju-baju untuk para murid saya, agar mereka bisa mencobanya dan jadi kenal salah satu aspek budaya Indonesia. Dalam pekan Hari Batik Nasional, saya akan menganjurkan mereka untuk memakai batik,” kata Anggi.

Anggi memakai blus batik yang dibeli di kampung halamannya, Bandung. Gambar ini diambil sebelum bertemu murid-muridnya di kampus Universitas Columbia, New York.

Anggi tidak hanya senang memperkenalkan batik kepada murid-muridnya, ia juga sering memakainya – baik pada acara-acara khusus maupun pada hari biasa. “Saya bangga menjadi orang Indonesia, dan saya semakin bangga dengan negara saya sejak saya pindah ke luar negeri. Di universitas ini, saya merasa jadi perwakilan dari budaya Indonesia, dan batik adalah bagian yang tak terpisahkan dari itu,” tambahnya.

Barang batik kesukaan Anggi adalah crop top warna merah muda dengan corak daun berwarna-warni. Dia juga membawanya ke New York. “Baju batik itu memiliki nilai sentimental. Ketika saya pertama kali mulai mengajar di Australia, itu adalah gaun. Sayangnya, gaun itu sobek saat lokakarya permainan tradisional, akhirnya saya buat ulang menjadi kemeja agar bisa terus menjadi bagian dari perjalanan saya,” jelasnya.

Australia

Salmadita, bendahara dan presiden sementara AIYA Jabar, tinggal sedikit lebih dekat dengan Indonesia. Pada tahun 2020, di tengah pandemi, dia pindah ke Melbourne bersama orang tuanya.

Akibat pandemi dan ketakbisaan mengunjungi kampusnya di Indonesia, upacara wisuda Salmadita dilakukan secara daring. Namun, layar laptop tidak menghalanginya untuk memakai kebaya dan rok batik kesukaannya yang sudah ia pakai sejak SMA.

Salmadita berpose dengan rok batik kesukaannya untuk merayakan kelulusannya secara virtual, Melbourne 2020.

“Sebelum pindah ke Australia, saya hanya memakai batik sesekali. Jika saya memakainya setiap hari, orang akan mengira saya mau menghadiri acara formal atau merayakan hari spesial,” jelas Salmadita. Namun, hal ini berubah setelah Salma pindah ke Melbourne. “Di Melbourne, saya lebih sering memakai batik dengan lebih bangga. Walau begitu, saya memeriksa cuaca sebelum memilih batik saya: jika bahannya tipis dan halus, haruslah memakainya saat cuaca cerah untuk menghindari masuk angin. Saya memakai batik pada Hari Kemerdekaan Indonesia, dan saya merasakan energi dari Indonesia!” jelas Salmadita.

Menurut Salmadita, ada atau tidaknya acara Hari Batik Nasional 2021 di Melbourne tergantung pada situasi pandemi. Baik ada maupun tidak, pada tanggal 2 Oktober, dia akan masuk kerja memakai masker batik dan rok batik dari upacara wisudanya untuk “menunjukkan identitasnya sebagai orang Indonesia.”

Belanda

Afrizal Maarif adalah mahasiswa program magister di Universitas Wageningen, jurusan Perencanaan Tata Ruang. Pada tahun 2019, ia meninggalkan kampung halamannya, Surabaya, untuk melanjutkan studinya di Belanda.

Saat musim semi di Belanda, Rizal suka memakai kemeja batik lengan panjangnya dari Kalimantan. “Namun, batik kesayangan saya adalah Batik Parang, corak pedang, yang memiliki desain sederhana namun estetis,” katanya.

Sebab Wageningen adalah salah satu universitas yang paling popular di Belanda di kalangan mahasiswa Indonesia, Rizal seringkali melihat mahasiswa Indonesia lainnya memakai batik di kampus. “Tapi kadang saya juga melihat mahasiswa Belanda memakai batik atau membawa tas bermotif batik, yang mana membuat saya bangga: warisan sejarah dan kultural seperti itu masih ada sampai sekarang dan bahkan mendunia!” jelas Rizal.

Dibanding tahun-tahun sebelumnya, Rizal tidak akan dapat menghadiri acara khusus Hari Batik Nasional tahun ini karena ia akan menjalani karantina wajib sekembalinya ke Indonesia. Meski demikian, ia berharap batik semakin terkenal di seluruh dunia, termasuk dalam penelitian dan kalangan akademisi. “Dan agar produksi batik menjadi lebih berkelanjutan, baik untuk pengrajin maupun bagi lingkungan,” kata Rizal.

Blus batik ini dari Pontianak, Kalimantan Barat merupakan salah satu barang yang Rizal bawa ke Belanda.