Ditulis oleh Leo Barry – Editor Nasional Blog AIYA

Diterjemahkan oleh Wes Trianugeraha – Tim Penerjemahan Nasional AIYA

Untuk Versi Bahasa Inggris

Negara Kesatuan Republik Indonesia baru memperoleh kemerdekaannya 79 tahun yang lalu, setelah berhasil mengakhiri sekitar 300 tahun pemerintahan Belanda. Hari ini, Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949) tetap menjadi landasan identitas nasionalis Indonesia melalui simbol, retorika, dan estetika, yang semuanya masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia di masa modern. Namun perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan hanya urusan nasional dalam negeri. Perjuangan itu juga telah menggalang dukungan dari seluruh dunia dan menetapkan tahapan untuk hubungan resmi pertama Australia dengan tetangganya di utara itu. “Permulaan” kisah Australia-Indonesia memiliki sepenggal sejarah yang kurang diapresiasi yang memberi pencerahan baru tentang pondasi hubungan yang sudah berusia hampir seabad ini.

Australia kini dikenang sebagai salah satu negara Barat pertama yang mendukung upaya kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1947, setelah Belanda melancarkan ‘Aksi Polisionil Pertama’ terhadap Republik Indonesia yang masih baru terbentuk dan melanggar perjanjian diplomatik sebelumnya, Australia merujuk konflik tersebut ke PBB dengan berani menyebut Belanda sebagai dalang dari peristiwa kekerasan tersebut. Australia kemudian akan dinominasikan oleh Republik Indonesia untuk menengahi gencatan senjata dengan Belanda, dan ketika Indonesia akhirnya merdeka, Australia akan menjadi salah satu negara yang pertama mengakui negara baru tersebut.

Yang mungkin kurang banyak dikenal adalah sejarah serikat buruh Australia dan keberhasilan perjuangan mereka dalam mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Tindakan mereka mendorong opini dan kebijakan publik terhadap tindakan Belanda terhadap bekas jajahan mereka. Dari awal perang hingga akhir, aliansi serikat pekerja maritim Australia akan memblokir pengiriman senjata dan amunisi Belanda dari pelabuhan Australia. 

Pelabuhan-pelabuhan Australia diawaki oleh banyak pekerja internasional, di antaranya adalah pelaut Indonesia, banyak di antaranya mengembangkan ikatan yang kuat dengan pekerja Australia akibat kepentingan bersama para pekerja. Di Sydney, perselisihan tentang gaji membuat pelaut Indonesia mendapat dukungan oleh serikat pelaut Australia, dan pada tahun 1942, tahanan politik Indonesia yang dibawa ke pelabuhan Sydney oleh kapal Belanda yang melarikan diri dari Jepang dibebaskan setelah protes dari para pekerja.

Puncak dari hubungan yang menarik ini terjadi antara tahun 1945-1949, di mana hampir 600 kapal Belanda diblokir untuk menggunakan pelabuhan Australia oleh aliansi serikat pekerja maritim Australia dan pekerja pelabuhan asing. Sejak September 1945, para pekerja menolak bekerja di kapal-kapal Belanda yang membawa senjata, amunisi, atau perbekalan lain yang dianggap penting untuk upaya perang Belanda. Pemogokan yang awalnya dimulai di Sydney ini, segera menyebar ke Melbourne dan Brisbane, memberikan dampak signifikan bagi upaya perang Belanda.

Aspek hubungan Australia dengan Indonesia yang tidak banyak diketahui orang ini terekam secara luar biasa dalam film dokumenter tahun 1945 ‘Indonesia Calling’, yang disutradarai oleh pembuat film Belanda Joris Ivens yang diproduksi bersama dengan Federasi Pekerja Waterside. Film dokumenter ini diputar sebagai propaganda pro-serikat pekerja yang apik, dengan para pekerja dermaga Australia yang difilmkan secara hitam putih, mendengarkan rekan-rekan mereka di Indonesia 

Front persatuan yang dihadirkan oleh serikat pekerja maritim Australia dan efektivitas kampanye mereka melawan pelayaran Belanda memainkan peran penting dalam mendukung Indonesia yang baru untuk merdeka. Menurut beberapa pengamat, kampanye tersebut juga akan menggalang dukungan publik untuk Indonesia dan mendorong pemerintahan Buruh pimpinan Ben Chiffley untuk melawan Belanda di panggung internasional. Jika awal yang tidak biasa dari hubungan Australia-Indonesia ini memiliki sesuatu untuk diajarkan kepada kita; perubahan yang berarti dan kerja sama antara kedua negara tidak secara eksklusif dipengaruhi oleh pemerintah. Hubungan antara orang, komunitas, dan mereka yang berbagi misi keadilan yang setara harus selalu mendukung interaksi Australia dengan tetangganya.

Written by Leo Barry – AIYA National Blog Editor

Indonesian translation by Wes Trianugeraha – AIYA National Translation Team

Read the Indonesian version here.

The Republic of Indonesia only gained independence 79 years ago, successfully ending some 300 years of Dutch rule. Today, Indonesia’s National Revolution (1945-1949) remains a cornerstone of Indonesian nationalist identity, its symbols, rhetoric, and aesthetics, all still highly relevant in modern Indonesia. However Indonesia’s struggle for independence was not simply a national affair. It galvanised support from all around the world and set the stage for Australia’s first official relations with its neighbour to the north. The “beginning” to the Australia-Indonesia story contains a piece of under-appreciated history that sheds new light on the foundations of an almost century old relationship.

Australia is now remembered as being one of the first Western nations to support Indonesia’s bid for independence. In 1947, after the Dutch launched the ‘First Police Action’ against the young Indonesian Republic violating previous diplomatic agreements, Australia referred the conflict to the UN, boldly naming the Dutch as the instigators of the violence. Australia would subsequently be nominated by the Indonesian Republicans to broker a ceasefire with the Dutch, and when Indonesia eventually became independent, Australia would be one of the first to recognise the new nation.

What is perhaps less well known is the history of Australian trade unions and their successful struggle towards supporting the Indonesian independence movement. This pushed public opinion and policy against the actions of the Dutch in their former colony. From the beginning of the war to its end, an alliance of Australian maritime trade unions would block Dutch shipments of arms and munitions crucial to their war effort from Australian ports.

Australia’s ports were staffed by many international workers, among them were Indonesian seamen, many of whom developed a strong bond with Australian workers over mutual working class interests. In Sydney, a dispute over pay had seen the Indonesian seaman backed by the Australian Seamen’s Union, and in 1942, Indonesian political prisoners brought to Sydney harbour by Dutch ships fleeing the Japanese were released after protests from workers. 

The crux of this fascinating relationship took place between 1945-1949, wherein almost 600 Dutch ships were blocked from using Australian ports by an alliance of Australian maritime trade unions and foreign dockworkers. From September 1945, workers refused to work on Dutch vessels carrying weapons, munitions, or any other supplies deemed important to the Dutch war effort. While the strikes originally started in Sydney, they soon spread to Melbourne and Brisbane, dealing a significant blow to the Netherland’s war effort.

This little-known facet of Australia’s relationship with Indonesia is remarkably captured in the 1945 documentary film ‘Indonesia Calling,’ directed by the Dutch filmmaker Joris Ivens produced in conjunction with the Waterside Workers Federation. The documentary plays as a slick piece of pro-union propaganda, with Australian dock workers pictured in black and white listening to their Indonesian colleagues cry ‘Indonesia Merdeka!’ (Free Indonesia) against the backdrop of Sydney Harbour.

The united front presented by Australian maritime trade unions and the effectiveness of their campaign against Dutch shipping played an important role in supporting a newly free Indonesia. According to some observers, the campaign would also galvanise public support for Indonesians and push Ben Chiffley’s Labour government into opposing the Netherlands on an international stage. If this unconventional beginning to the Australia-Indonesia relationship has anything to teach us; it is that meaningful change and cooperation between the two countries is not exclusively affected by governments. Relationships between people, communities, and those sharing an equal mission for justice should always underpin Australia’s interactions with its neighbours.