Betangas, “Sauna” Tradisional Indonesia
Indonesia memiliki keragaman budaya yang unik dan menarik. Salah satunya ada Tradisi Betangas. Tradisi ini berlaku bagi masyarakat Melayu di beberapa wilayah di Indonesia. Termasuk pula di Kalimantan Barat. Tapi apa sih keistimewaan sauna tradisional ini? Marsita Riandini menjelaskan sejarah dan budaya mandi betangas.
Betangas merupakan bagian dari proses tradisi pernikahan yang dilalui oleh calon mempelai, baik itu calon mempelai perempuan maupun calon mempelai lelaki. Tradisi ini bukan sekedar ritual belaka, tetapi ada manfaat yang bisa digali dari penerapannya, yakni mengurangi bau badan.
Kenapa calon pengantin perlu betangas? Sebab dipercaya dapat menghilangkan bau badan dari calon mempelai. Karena setiap harinya orang akan berkeringat yang menyebabkan bau badan muncul. Tetapi diharapkan usai dari betangas, keringat yang muncul malah menjadi wangi, atau paling tidak baunya tidak begitu kuat. Apalagi pengantin nantinya akan bersanding untuk menjadi raja dan ratu sehari.
Sampai saat ini, betangas masih dilestarikan, terutama di wilayah yang didominasi masyarakat Melayu. Seperti di Pontianak, Kabupaten Mempawah, dan Kabupaten Sambas. Tata caranya pun hampir sama.
Belum lama ini, saya juga menyaksikan ada keluarga saya yang sedang betangas. Di Pontianak, tak hanya orang Melayu saja yang melaksanakannya. Orang Bugis pun juga turut melestarikan budaya ini.
Betangas dilakukan tiga hari sebelum hari H atau hari pernikahan. Umumnya betangas di pandu oleh orang tertua (yang dianggap pandai dan biasanya umurnya memang sudah cukup tua). Di kota saat ini sudah sulit menemukan orang yang bisa menangas. Bahkan banyak pula yang beralih ke “Betangas modern” bisa itu sauna, atau pun ratus.
Tentu saja keduanya berbeda. Betangas lebih tradisional. Menggunakan tikar pandan yang dibuat melengkung. Selain tikar pandan. Ada rempah-rempah pilihan yang disiapkan. Rempah-rempah tersebut terdiri dari akar jawe, pucok ganti, mesuik, kelabat, daun nilam, daun pandan, dan serai wangi. Bahan-bahan ini bisa dijumpai di Indonesia. Tetapi biasanya lain wilayah, lain pula penyebutan nama bahan tersebut. Sekalipun itu masih dalam satu kawasan provinsi.
Semua bahan itu direbus dalam wadah. Biasanya menggunakan periuk (wadah berbentuk bulat, pada zaman dahulu periuk digunakan untuk menanak nasi). Rebus sampai mendidih. Jangan lupa bagian atasnya tutup dengan daun pisang beberapa lapis dengan rapat.
Kenapa harus rapat tutupnya? Agar uap air tidak banyak yang keluar. Uap itulah yang nantinya berfungsi untuk menghilangkan bau keringat.
Proses laksananya, calon pengantin duduk di atas kude-kude (kalau orang jawa bilang dengklek). Kude-kude merupakan alas duduk yang terbuat dari papan yang dibagian ujungnya diberi kayu. Dihadapannya diletakkan periuk rebusan rempah-rempah tadi. Kemudian tikar pandan yang sudah digulung diarahkan ke calon pengantin sampai dia masuk ke dalamnya. Bagian atasnya ditutup dengan beberapa lapis kain. Kain ini berperan penting agar hasil betangas menjadi lebih maksimal.
Tugas calon pengantin membuka sedikit saja bagian daun pisang penutup rempah-rempah tadi. Uap dari dalam periuk pun keluar. Aroma wangi pun menyeruak hingga keluar tikar pandan. Calon pengantin kemudian mengaduknya menggunakan saji kayu (sendok yang dibuat dari kayu) secara perlahan sampai uap dalam periuk habis. Kalau menggunakan sendok besi, pasti akan membuat tangan menjadi panas sat memegangnya.
Uap tersebut dipercaya baik untuk tubuh. Itulah kenapa harus menggunakan kain berlapis-lapis untuk menutupi tikar yang digulung. Tujuannya agar uapnya lebih banyak menempel di badan dan keringatpun menjadi lebih wangi.
Selain membuat tubuh menjadi wangi. Tradisi ini juga berfungsi membuang sue (sial). Masih dengan tujuan tersebut, pakaian yang kenakan selama bertangas sebaiknya satu baju dan satu celana saja. Atau kalau perempuan biasanya cukup satu kain yang dikembankan. Pakaian itu nantinya tidak boleh lagi dikenakan, bisa dibuang ke atap rumah, bisa pula dibuang begitu saja.
Usai bertangas calon pengantin di bedak dengan bedak tradisional. Bahan pembuatnya menggunakan pucok ganti mesuik sama pucok daun pandan. “Bahan-bahan itu digiling sama pulot (beras ketan). Sebelumnya pulot direndam sampai halus. Setelah tercampur dibulat bulatkan lalu dijemor. Ketika ingin membedakannya di kasih air sedikit agar cair. Bedakkan ke seluruh tubuh,” kata Bu Fatimah, tukang tangas yang kerap digunakan jasanya oleh banyak pengantin di Pontianak.
Tentu saja proses membuatnya tak sembarang. Ada bacaannya. Salah satunya dalam bentuk pantun.
“Pak Ribu2 sepanajang jalan..
Dipetik si jari manis…
Beribu-ribu orang yang datang
Hanya aq yang paling manis,” tambahnya.
Esok paginya calon pengantin dimandikan dengan bacaan khusus.
Inilah tradisi mandi betangas. Seandainya mau badannya wangi jangan lupa mencoba mandi betangas kalau kamu berada di Kalimantan Barat.