Ashmore Reef, Nelayan Rote, dan Masalah Pelintas Batas Perairan Indonesia-Australia 1974–2007.
Noor Fatia Lastika Sari sedang belajar Sejarah Australia di Universitas Indonesia. Fatia tertarik untuk belajar Australian studies karena menurutnya Australia adalah salah satu tetangga terpenting bagi Indonesia. Perbatasan antara kedua negara ini juga sangat rentan terhadap konflik yang mungkin dapat mempengaruhi hubungan bilateral. Oleh karena itu, perspektif sejarah sangat penting untuk mengerti isu-isu tersebut. Berikut adalah ringkasan dari skripsinya tentang perbatasan Indonesia-Australia dari perspektif sejarah.
Ashmore Reef adalah salah satu gugusan pulau yang terletak di antara Laut Timor dengan perairan utara Australia pada 12°13’ Lintang Selatan (LS) dan 123°5’ Bujur Timur (BT), sekitar 120 kilometer dari Pulau Rote, NTT, 840 kilometer dari Darwin, Australia Utara, dan 610 kilometer dari Broome, Australia Barat. Gugusan pulau ini merupakan bagian dari kedaulatan Australia, yang disetujui melalui Nota Kesepakatan (Memorandum of Undersanding) pada tahun 1974. Sebelumnya, Ashmore Reef dikenal oleh masyarakat nelayan tradisional Indonesia, khususnya nelayan tradisional Rote, sebagai Pulau Pasir. Penamaan tersebut didukung oleh beberapa fakta historis yang menyebutkan bahwa Pulau Pasir telah lama menjadi tujuan berlayar para nelayan tradisional secara turun temurun.
Saat ini, gugusan pulau tersebut tidak lagi dapat disebut dengan nama Pulau Pasir. Gugusan pulau tersebut adalah Ashmore Reef yang merupakan bagian dari Australia. Ashmore Reef hanya bagian dari sejarah pelayaran nelayan tradisional Rote, yang hingga saat ini masih terbuka bagi nelayan tradisional Rote karena diakuinya hak melaut mereka di gugusan pulau tersebut pasca MoU 1974 yang didukung oleh UNCLOS 1982. Ashmore Reef yang kini merupakan bagian dari Australia diakui secara de jure karena berpatokan dari hukum laut internasional yang berlaku dan disetujui oleh PBB, serta secara de facto karena telah dilaksanakannya effective governmental control dan konservasi berbentuk cagar alam di Ashmore Reef.
Pelayaran tradisional yang dilakukan oleh nelayan tradisional Rote, khususnya dari Dusun Papela, ke Ashmore Reef memang telah diakui secara internasional melalui UNCLOS 1982. Namun, pelayaran ini kemudian memancing perhatian Australia karena dianggap menyalahi aturan tradisional yang ditetapkan Australia, sehingga akhirnya para nelayan disebut-sebut sebagai pelintas batas. Para nelayan dituduh melanggar batas negara, lalu ditindak secara represif.
Sesuai ketentuan yang disepakati dalam MoU 1974, beserta revisinya di tahun 1989, Australia hanya mengizinkan pelayaran tradisional dalam arti pelayaran yang memancing ikan dan organisme laut yang menetap dengan metode-metode tradisional, seperti perahu tanpa motor, serta peralatan memancing yang sederhana dan tidak mencemari lingkungan. Dengan kata lain, pelayaran tersebut menggunakan metode yang selama ini telah menjadi tradisi turun-temurun. Penindakan tegas yang dilakukan Australia didasari oleh persetujuan Indonesia pada MoU tersebut yang menyebutkan bahwa Indonesia telah memahami isi nota kesepakatan secara komprehensif dan siap bekerjasama secara kooperatif dengan Australia dalam proses sosialiasi terhadap para nelayan tradisional.
Kondisi ini kemudian diperkeruh dengan kedatangan nelayan-nelayan asal Indonesia dari wilayah lain selain nelayan tradisional Rote di Ashmore Reef. Australia menganggap kedatangan tersebut sebagai bentuk pelintasan batas secara ilegal yang berpotensi pencemaran, mencuri kekayaan negara, dan menjadi sarana masuk bagi pelanggaran hukum lainnya, seperti imigran gelap, terorisme, dan perdagangan komoditas ilegal berupa senjata dan narkotika. Nelayan tradisional yang juga berada di perairan yang sama turut terjaring dalam operasi-operasi yang dijalankan oleh Royal Australian Navy dan Petugas Pabean Broome, Australia Barat.
Dari sekian banyak kasus penangkapan terhadap nelayan-nelayan pelintas batas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran yang dilakukan umumnya disebabkan oleh: (1) Kurangnya pemahaman nelayan terhadap garis batas wilayah Indonesia dan Australia karena tidak mengenal teknologi Global Positioning System (GPS), serta ketidaktahuan mereka terhadap status kepemilikan Ashmore Reef oleh Australia. Hal ini terutama merupakan tanggung jawab pemerintah dalam melakukan sosialisasi.; (2) Faktor historical culture yang masih melekat pada masyarakat Papela dalam bentuk tradisi melaut ke Ashmore Reef; (3) Iming-iming keuntungan besar dari bos-bos pelabuhan jika para nelayan bersedia menangkap hasil laut yang melebihi batas subsisten; dan (4) Minimnya upaya Pemerintah Indonesia dalam memberdayakan masyarakat nelayannya, sehingga para nelayan tidak memiliki pilihan mata pencarian lain selain berlayar ke Ashmore Reef.
Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh Indonesia dan Australia didasari oleh kebijakan pemerintah masing-masing, baik pemerintah pusat maupun daerah atau negara bagian. Kebijakan tersebut berubah-ubah sesuai dengan perkembangan politik luar negeri dan kebijakan pertahanan masing-masing negara, seperti misalnya di Indonesia, kebijakan pada pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto berpatokan pada tujuan pembangunan negara. Berbeda dengan era Reformasi yang dipimpin tiga kepala negara berbeda, yaitu Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang menekankan pada pembinaan hubungan baik dengan negara tetangga.
Di Australia sendiri, perubahan arah politik luar negeri dan kebijakan pertahanan bergantung pada pemerintahan yang berkuasa, yaitu antara Partai Buruh atau Partai Liberal. Perbedaan tersebut terlihat dari kebijakan pemerintah pimpinan Perdana Menteri dari Partai Buruh, seperti Gough Whitlam, Bob Hawke, dan Paul Keating yang banyak mengutamakan pembinaan hubungan baik berdasarkan kondisi geografis Indonesia-Australia yang bertetangga. Di sisi lain Partai Liberal, dibawah kepemimpinan seperti Malcolm Fraser dan John Howard, cenderung lebih konservatif dan intens dalam menanggapi isu pelintas batas yang mengganggu kedaulatan wilayah Australia.
Dalam kurun waktu tiga dekade, penindakan yang dilakukan diawali dan mayoritas bersumber dari Pemerintah Australia. Upaya penyelesaian yang lebih gencar dilakukan Pemerintah Australia disebabkan oleh kekhawatirannya terhadap kemungkinan pencemaran lingkungan dan penyusupan imigran gelap ke negaranya melalui pulau-pulau kecilnya yang tersebar di Samudera Hindia, yang salah satunya adalah Ashmore Reef. Tanggapan dan kesertaan Pemerintah Indonesia secara berkesinambungan baru terlihat pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkomitmen mengembangkan potensi pulau-pulau terdepan Indonesia dan kembali pada konsep Wawasan Nusantara yang dimiliki Indonesia.
Sayangnya, dalam periode pemerintahan sebelumnya, implikasi yang muncul atas kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia cenderung tidak berjalan dengan tepat, sehingga jalan keluar terhadap permasalahan pelintas batas antara Indonesia-Australia menjadi tak terselesaikan dengan tuntas. Kegagalan diplomasi, terutama pada MoU 1974, pada akhirnya memunculkan kesan ketidakpedulian pemerintah terhadap nelayan-nelayan yang ditangkap Australia karena dianggap sebagai pelintas batas.
Hak tradisional yang dimiliki para nelayan tradisional Rote asal Papela memang diakui oleh Pemerintah Australia, namun penangkapan terhadap nelayan asal Indonesia lainnya tetap menjadi permasalahan yang harus dipecahkan oleh Pemerintah Indonesia. Pada dasarnya, Indonesia tidak dapat menyalahkan Australia yang melakukan penegakan hukum terhadap perairannya yang gagal diperjuangkan di meja perundingan oleh Indonesia. Hal ini turut diperkeruh dengan lemahnya upaya sosialisasi dan penanggulangan yang dilakukan Pemerintah Indonesia.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah bahwa Ashmore Reef telah ditetapkan statusnya secara hukum sebagai bagian dari negara Australia dan hal ini tidak lagi menjadi pokok permasalahan kedua negara. Justru isu-isu pelintasan batas yang dilakukan nelayan Rote serta nelayan-nelayan asal Indonesia lainnya, yang berpotensi menjadi suatu ancaman transnasional. Indonesia, tentunya, tidak ingin selalu dianggap sebagai “ancaman dari utara” bagi Australia. Pada akhirnya, segala bentuk penyelesaian masalah terkait wilayah perbatasan di sekitar Ashmore Reef tersebut tidak hanya melibatkan Indonesia dan Australia saja, namun ada juga Timor Timur yang mendapatkan kemerdekaannya di awal abad ke-21, sehingga bukan hanya sebatas memperbaiki kerancuan makna nelayan tradisional dan pelintas batas yang harus dilakukan dalam perundingan-perundingan bilateral, tetapi juga bagaimana jika permasalahan tersebut dibahas dalam perundingan trilateral yang melibatkan tiga negara yang saling beririsan di perbatasan tersebut. Karena pada dasarnya, perbatasan di laut bukanlah suatu hal yang dapat diidentifikasikan secara definitif pada praktiknya.