Simak cerita seorang perempuan dari Bali bernama Komang Santi yang pernah dapat sukses dalam kehidupannya melalui berniat yang kuat dan mencoba sebanyak-banyaknya untuk berkembang secara profesional dan pribadi.

Saya lahir di Karangasem di Kabupaten Kubu, daerah pergunungan. Tanggal lahir saya sebenarnya 10 Juli 1992 tetapi beda kalau di KTP. Ibu melahirkan saya di rumah dengan cara tradisional. Sebenarnya dulu melahirkan di rumah itu malahan lebih bagus daripada di rumah sakit karena ada dukun bayi.

Komong Santi di tempat kerja. Foto: Komong Santi

Komang Santi di tempat kerja. Foto: Komang Santi

Karena desa saya ada di atas gunung, dulu motor tak bisa naik, apalagi mobil dan kita harus jalan kaki. Di sana cuacanya kering sekali dan susah nyari air. Dari kecil saya diajak oleh ibu untuk ikut jualan di Badung. Awalnya, kita menjual garam, kadang-kadang kita nukar sama beras. Kita keliling sampai Nusa Dua. Biasanya kita membawa dua karung, dan kalau habis, kita pulang. Setelah itu, karena sudah terlalu banyak orang lain yang ikut jualan, kita memilih untuk pindah ke Kuta. Saya pernah ngamen. Ngamen di lampu merah Jimbaran sama ibu. Botol kosong itu saya kasih batu dan nyanyi-nyanyi. Malu ya kita… but it’s okay.

Sorenya saya ke Tuban. Kita ngelapin motor di sebuah mini market di sana. Paginya kita ke pasar Kuta dan bantu untuk ngangkat-ngangkat belanjaan orang. Karena ada Bom Bali pada tahun 2001, kita nggak bebas lagi. Kalau ngamen gak dibolehin, ditangkap. Akhirnya ibu memutuskan untuk saya jualan jagung dan kita pindah ke Jalan Legian. Setiap hari, itu dua kali saya jualan. Paginya saya bawa 50 biji jagung rebus di kepala dalam keranjang, dan itu kadang-kadang panas sekali karena plastiknya bocor dan air itu netes di badan saya. Saya jalan kaki, jualan bolak-balik di pantai. Itu 50 biji jagung harus habis. Kenapa saya sangat beda dengan kakak saya yang tinggi-tinggi tapi saya pendek sendiri? Mungkin itu karena dulu saya jualan jagung itu (haha).

Setelah itu, jualan jagung nggak dibolehin sama pemerintah. Sometimes kita berpikir ini nggak boleh, itu nggak boleh, bikin stress. Akhirnya, saya mulai berjualan gelang-gelang kecil-kecil di pantai. Sebenarnya itu juga tidak diperbolehkan karena kita masih kecil. Kadang ditangkap, dimasukin ke asrama gitu, tapi kita kabur (haha).

Bersama keluarga angkat. Foto: Komong Santi

Bersama keluarga angkat. Foto: Komang Santi

Saya umur sebelas tahun waktu ketemu sama bapak angkat saya. Masih ingat sekali. Waktu itu saya lagi marah sama ibu karena nggak dapat hasil dari jualan, dikira main. Saya kabur tiga hari ke Jalan Legian. Karena sudah terbiasa hidup di jalan, saya merasa tidak masalah. Saya ambil kardus kosong dan tidur di emperan jalan. Karena hujan, saya pindah ke papan berbentuk V, dan diam di dalamnya. Nah, dilihatlah sama babak angkat saya. Saya diajak makan. Dibeliin pizza. Wow! I really love pizza! Itu pertama kali saya makan pizza. Setelah makan, dikasih 50 dolar untuk bekal, jadi saya bisa pulang. Saya kasih uang itu ke ibu dan ibu bisa masak untuk keluarga. Seminggu lagi, bapak angkat datang untuk ketemu sama orang tua saya dan mintalah untuk saya diangkat jadi anak mereka karena istrinya belum bisa punya anak. Saya pindah ke rumah mereka dan disekolahkan.

Di sekolahan itu, walau umur saya sudah sekitar dua belas tahun, saya masih bergabung sama anak-anak TK karena saya sama sekali nggak tahu huruf. Dari kelas satu sampai kelas tiga… Saya kadang-kadang pakai seragam sekolah. Akhirnya selama tiga tahun, saya bisa baca, bisa nulis sedikit, saya dicariin paket kayak SMP atau SMA tapi saya menolak. Karena saya harus membantu keluarga asli saya, akhirnya saya berhenti sekolah. Sambil bersekolah, saya belajar training spa di tempat kakak sepupu saya. Pulang sekolah, saya ke sana dan bisa melihat caranya massage. Karena kebetulan ada terapis cuma satu, saya ditawarin untuk mengambil lagi satunya. Pulang sekolah, kerja di sana dan dapat uang kalau ada tamu. Waktu itu saya ingin sekali bisa hidup mandiri. Akhirnya saya kumpul cukup uang untuk ngekos. Tapi kosnya masih sangat sederhana. Waktu ibu angkat saya mencari saya, dia kaget melihat kamar saya, tidur di lantai, pakai kardus.

Dengan seragam baru setelah lulus masa trial. Foto: Komong Santi

Dengan seragam baru setelah lulus masa percobaan di tempat kerja. Foto: Komang Santi

Saya ingin mencari pekerjaan yang lebih yakin dan saya mulai melamar di daerah Legian. Waktu itu saya hanya bisa satu treatment, yaitu Balinese massage. Akhirnya, lamaran saya diterima dan saya dapat training beberapa treatment lagi. Akhrinya saya menikah. Setelah menikah dan melahirkan anak pertama saya, saya mulai bekerja di villa. Di sana saya mendapatkan banyak pelajaran profesional. Itu membantu saya menutupi kekurangan saya karena tidak sekolah.

Karena mereka melihat niat saya untuk belajar, saya dicalonkan untuk pindah ke suatu tempat dengan pendapatan yang sedikit lebih tinggi. Waktu saya ikut interview, saya menceritakan kekurangan saya. Syukurlah beliau mengerti keadaan saya. Sekarang saya kerja dengan orang yang sudah kuliah. Kadang-kadang saya sadar bahwa ternyata pola pikir saya dengan orang yang kuliah S1 itu hampir sama. Kadang-kadang di sekitar saya ada yang mengeluh dengan apa yang dia punya tetapi sebenarynya, kalau diceritakan, pengalaman saya jauh lebih buruk daripada mereka. Cerita saya membuat motivasi mereka: “Wah, ternyata ada orang dari latar belakang yang jauh lebih buruk daripada saya tapi dia bisa menutupinya.”

Jadi saya selalu punya pikiran seperti ini: kesuksekan seseorang bukan dari seberapa tinggi pendidikan mereka, tapi seberapa tinggi usaha mereka, seberapa tinggi niatya mereka, seberapa tinggi cita-citanya mereka.

AIYA Blog mengucapkan terima kasih banyak kepada Jane Ahlstrand atas bantuannya menceritakan kehidupan sulit para pemuda di Indonesia yang kemudian dapat sukses dan kebahagiaan. Artikel-artikel yang lainnya dari Jane dapat dibaca di sini.