Empat pertanyaan mengenai ibu kota baru Indonesia dijawab
Ditulis oleh Lotte Troost – AIYA National Blog Editor
Terjemahan oleh Thomas Shears – AIYA National Translation Team. Klik di sini untuk versi Bahasa Inggris.
Sudah lama pemindahan ibu kota Indonesia menjadi pembahasan di antara para pemimpin Indonesia; sebetulnya, rencana pemindahan tersebut telah ada semenjak tahun 1950-an saat Presiden Sukarno ingin memindahkan ibu kota ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Namun, pada tahun 2017, pemerintahan Jokowi mendorong ide ini lebih jauh daripada pendahulunya dengan mengumumkan rencana untuk memindahkan ibu kota ke luar pulau Jawa secara terbuka. Dua tahun kemudian, pada tahun 2019, rencana 10 tahun untuk memigrasikan semua kantor pemerintahan ke ibu kota baru di pulau Kalimantan diungkapkan. Kemudian pandemi melanda dan menunda implementasi rencana tersebut.
Sekarang, tiga tahun kemudian, Jokowi telah mengambil langkah signifikan lain untuk mewujudkan proyek miliaran dolar ini. Pada Januari 2022, DPR Indonesia mengesahkan RUU Ibu Kota Negara (IKN), yang memberikan kerangka hukum untuk ibu kota baru, Nusantara.
Hanya butuh waktu 42 hari hingga RUU ini disahkan; sebuah rekor baru bagi parlemen Indonesia. Lagi pula, pemerintah sedang berada pada lini masa yang ambisius dan ketat selama dua tahun; PNS pertama perlu direlokasi pada kuartal pertama 2024, sementara konstruksi baru saja dimulai.
Kenyataan rencana pemindahan ibu kota ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Mari kita bahas empat dari pertanyaan-pertanyaan ini.
Ilustrasi desain istana negara di Nusantara.
Apalah arti sebuah nama; mengapa ibu kota baru diberi nama ‘Nusantara’?
Seiring dengan disahkannya RUU IKN, pemerintah mengumumkan nama ibu kota baru yang sudah lama ditunggu-tunggu. Setelah mengkaji sekitar 80 nama yang diajukan antara lain oleh para sejarawan dan sosiolog, pemerintah memilih nama ‘Nusantara’ daripada usul-usul lain seperti Negara Jaya, Nusantara Jaya, dan Pertiwipura.
‘Nusantara’ sendiri berasal dari bahasa Jawa kuno; terdiri dari kata ‘nusa’ (kepulauan) dan ‘antara’ (luar atau seberang). Istilah ini digunakan semenjak zaman kerajaan Singhasari di Jawa Timur, meskipun dalam bentuk yang agak berbeda (yaitu Dwipantara, yang bermakna ‘kepulauan antara’). Saat itu, istilah ini lebih mengacu pada upaya penaklukan militer, dengan tujuan menyatukan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara di bawah Singhasari. Kemudian pada abad ke-20, istilah tersebut muncul Kembali dan diajukan oleh para pejuang antikolonial untuk memperkatakan seluruh wilayah-wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke, sebagai nama alternatif untuk Hindia Belanda.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa, dipilihnya Nusantara sebagai nama ibu kota baru merupakan upaya untuk mencerminkan semboyan nasional Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, sebagai negara yang terdiri dari banyak pulau dan berbagai suku yang disatukan oleh lautan.
Istilah Nusantara juga merupakan bagian dari sudut pandang Indonesia tentang geopolitiknya. Wawasan Nusantara, atau konsep kepulauan, merupakan cara bagi Indonesia untuk melihat dirinya sendiri; meski memiliki keragaman suku dan budaya di ribuan pulau, lautan antarpulau harus menyatukan kepulauan ini.
Siapa saja yang mendanai proyek bernilai miliaran dolar ini?
Pemindahan ibu kota bukanlah hal yang aneh, seperti yang ditunjukkan antara lain dari Pakistan, Myanmar, Brasil, dan Australia. Namun, perbedaan utama kasus Indonesia dengan yang lain adalah ibu kotanya akan dipindahkan ke pulau lain. Ini juga merupakan salah satu alasan utama mengapa relokasi ini membutuhkan anggaran yang begitu besar.
Ibu kota baru akan berlokasi di antara wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. Pusat administrasi baru Indonesia ini akan dibangun di atas lebih dari 200.000 hektar hutan pedalaman, sekitar tiga kali lipat luasnya kota New York. Meskipun menjadi beban finansial bagi negara Indonesia, ini menjadi peluang bagi investor dari berbagai industri.
Presiden Jokowi dan Gubernur Kaltim Isran Noor berdiri di Kawasan yang sebentar lagi akan menjadi ibu kota baru Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka akan membiayai sekitar 20% dari total Rp466,9 triliun ($32,7 miliar) yang diperlukan untuk relokasi ini dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pengeluaran pertama akan dilakukan untuk infrastruktur dasar seperti bendungan, sistem air bersih, dan jalan di dekat kawasan pusat pemerintahan.
Sisa 80% dari biaya mesti berasal dari kemitraan publik-swasta dan sektor swasta. Dalam upaya untuk meningkatkan kepercayaan para investor, Jokowi telah membentuk sovereign wealth fund dan sebuah komite para tokoh terkenal untuk mengawasi pendanaan dan operasi konstruksi.
Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, CEO SoftBank, Masayoshi Son, dan Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Muhammad bin Zayed Al Nahyan, termasuk di antara anggota komite ini. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Putra Mahkota Abu Dhabi telah menyatakan dukungannya untuk pendanaan pembangunan ibu kota dalam bentuk beberapa miliar dolar saat pertemuan daring pada awal bulan Februari.
Bagaimana dengan lini masa proyek ini?
Konstruksi dijadwalkan untuk mulai pada tahun 2020, sedangkan relokasi itu direncanakan untuk mulai pada kuartal pertama tahun 2024, tepat sebelum pelantikan presiden dan parlemen baru. Komponen-komponen inti pemerintahan, seperti Mahkamah Agung, Kantor Staf Presiden, parlemen, pertahanan negara bersama dengan kementerian strategis (Kemlu, Kemhan, Kemendagri), akan direlokasikan di tahap pertama pada tahun 2024.
Sisa organ administrasi negara akan direlokasi secara bertahap hingga tahun 2027, dengan perkiraan tambahan 25.000 PNS yang direlokasi setiap tahun. Seluruh proses relokasi harus selesai pada tahun 2045.
Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia, populasi Nusantara akan meningkat dari 100.000 menjadi 700.000 pada tahun 2025 dan 1,5 juta pada tahun 2035.
Bagaimana dengan peran Jakarta ke depan?
Meskipun Nusantara akan berfungsi sebagai ibu kota administratif, Jakarta akan terus berfungsi sebagai ibu kota ekonomi Indonesia serta pusat kebudayaan dan perkotaan. Ini sama seperti halnya Rio de Janeiro dan Rangoon yang tetap menjalankan fungsi tersebut Ketika Brasilia dan Naypyidaw diresmikan sebagai ibu kota. Namun untuk saat ini, Jakarta akan tetap menjadi ibu kota negara (IKN) hingga Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres).
Dengan demikian, kemungkinan besar mayoritas dari sekitar 20 juta penduduk Jakarta akan tetap tinggal di tempat mereka berada. Dalam hal ini, Jakarta mungkin masih dirundung masalah yang sebenarnya menjadi salah satu alasan utama pemerintah mendorong pemindahan ibu kota, seperti kemacetan lalu lintas, kualitas udara yang rendah, dan banjir rutin. Di sisi lain, begitu Jakarta tidak lagi berfungsi sebagai ibu kota administratif, kota ini mungkin mengalami proyek pembangunan yang kurang ekstraktif yang memperburuk kerentanan kota terhadap banjir.
Selain dari biaya untuk proyek pemindahan ibu kota, pemerintah bermaksud untuk menginvestasikan miliaran dolar untuk regenerasi kota Jakarta, dalam rangka infrastruktur, transportasi umum, dan peningkatan sistem pengelolaan sampah.
Tetapnya Jakarta sebagai ibu kota ekonomi, gedung-gedung yang sedang digunakan untuk keperluan pemerintahan, serta aset negara lainnya seperti kompleks olahraga terkenal Gelora Bung Karno (GBK), kemungkinan akan dikontrakkan agar menghindari gedung-gedung “hantu” yang terbengkalai. Pada saat yang sama, penyewaan gedung-gedung tersebut akan menghasilkan dana untuk proyek konstruksi IKN, Nusantara.