Konflik Rusia-Ukraina : apa dampaknya bagi Indonesia?
Konflik Rusia-Ukraina: apa dampaknya bagi Indonesia?
Ditulis oleh Lotte Troost – Editor Blog AIYA National
Diterjemahkan oleh Gabriella Pasya – Penerjemah AIYA National. Klik di sini untuk versi Bahasa Inggris
Sudah lebih dari 118 hari berlalu sejak pasukan Rusia mulai menginvasi Ukraina. Meskipun serangan balasan Ukraina telah memaksa mundur pasukan Rusia dari ibukota Ukraina, Kyiv, daerah perbatasan di bagian Selatan dan Timur negara itu masih dalam serangan berat, dan pertempuran di sana tampaknya tidak akan berkurang dalam waktu dekat.
Perang di Ukraina tidak hanya mempengaruhi kedua negara yang sedang bertempur itu; dampaknya juga dirasakan oleh negara-negara di seluruh dunia, yang meskipun secara geografis terletak jauh dari medan pertempuran yang sebenarnya. Indonesia adalah salah satu negara tersebut.
Krisis mi, kelangkaan minyak goreng dan inflasi
Ukraina dikenal juga sebagai lumbung Eropa. Bicara soal gandum, Indonesia membeli mayoritas dari gandum impornya dari Ukraina. Pada tahun 2020, Indonesia mengimpor 2,96 juta ton gandum dari Ukraina. Meskipun gandum bukan makanan pokok Indonesia, gandum digunakan untuk membuat salah satu bahan makanan lokal populer yang paling digandrungi di negara ini; indomie. Dengan lebih dari 15 miliar paket Indomie diproduksi setiap tahunnya, dapat dibayangkan bahwa berkurangnya aktivitas di pelabuhan Ukraina secara substansial akibat perang telah berdampak signifikan pada pasokan gandum di seluruh dunia, yang berujung pada menipisnya ketersediaan mie pada negara-negara di sisi lain belahan dunia, termasuk Indonesia.
Anda mungkin pernah melihat foto orang- orang Indonesia yang mengantri untuk membeli minyak goreng. Situasi itu juga merupakan efek dari perang. Ukraina mengekspor minyak bunga matahari lebih banyak daripada negara lain manapun di dunia. Dan pemasok terbesar kedua di dunia adalah Rusia, menyumbang sekitar 23% dari pasokan global. Dengan terganggunya aktivitas ekspor dua pemasok utama minyak bunga matahari ini akibat perang, permintaan jenis minyak goreng alternatif, yaitu minyak kelapa sawit, melonjak. Di Indonesia, minyak kelapa sawit adalah minyak goreng yang paling populer, digunakan untuk menggoreng berbagai jenis gorengan. Karena meningkatnya permintaan global, orang Indonesia menyaksikan harga minyak sawit yang meroket. Antara bulan April dan Mei, pemerintah Indonesia bahkan memberlakukan pembatasan ekspor minyak sawit untuk menjamin konsumsi dalam negeri.
Penduduk desa di Kendari, Sulawesi Selatan, mengantre untuk membeli minyak goreng dengan harga yang luar biasa tinggi yaitu Rp 70.000 per liter. Foto oleh Antara.
Selain krisis mi dan kelangkaan minyak goreng, pasokan minyak mentah ke pasar internasional juga terganggu, dengan Rusia menjadi pemasok minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi. Sebagai tanggapan, perusahaan gas dan minyak milik negara Indonesia, Pertamina, telah menaikkan harga bahan bakar Pertamax non-subsidi dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 per liter.
Rantai pasokan global yang terganggu dan kenaikan harga komoditas telah mengakibatkan inflasi (jangka panjang), yang berada di atas inflasi yang disebabkan oleh pandemi. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Juni, inflasi tahunan naik menjadi 3,55 persen pada Mei, yang merupakan tingkat inflasi tertinggi sejak Desember 2017.
Kedepannya : KTT G20 Bali sebagai ajang negosiasi perdamaian?
Pada November 2022, semua mata akan tertuju pada KTT Kepala Negara dan Pemerintahan Kelompok 20 (G20) ke-17, yang akan diadakan di Bali di bawah kepresidenan Indonesia. Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengkonfirmasi kehadirannya di G20, meskipun beberapa negara anggota Barat telah mendesak Indonesia untuk menolak kehadiran Putin di Bali. Sebelumnya pada bulan April, Amerika Serikat, Kanada dan Inggris keluar dari pertemuan pejabat keuangan forum G20 ketika delegasi Rusia mulai berbicara.
Pembukaan rapat menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Jakarta, Februari 2022. Foto oleh Reuters.
Meskipun Indonesia berusaha untuk menunjukkan netralitas sebagai tuan rumah G20, sejalan dengan kebijakan luar negeri negara secara umum, tampaknya Indonesia tidak bisa lagi mengambil sikap seperti itu. Sebagai tuan rumah, Indonesia memiliki kewenangan untuk mengundang para pemimpin dari negara non-anggota sebagai pengamat. Ini sebenarnya terjadi pada bulan April, ketika Presiden Jokowi mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk menghadiri G20. Dalam acara live virtual yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Zelensky menerima undangan tersebut.Dengan mengingat kejadian ini, beberapa skenario dapat terungkap selama KTT G20 mendatang di Bali. Salah satunya adalah konflik ini akan lebih menjadi fokus utama KTT daripada Transisi Energi Berkelanjutan, Arsitektur Kesehatan Global dan Transformasi Digital, yang sekarang ditetapkan oleh Indonesia sebagai tiga pilar utama KTT. Negara-negara anggota mungkin akan melakukan walk out lagi, seperti yang terjadi sebelumnya pada bulan April atau pada tahun 2014 ketika Australia memegang kursi presidensi G20 dan Putin meninggalkan KTT di Brisbane lebih awal setelah ditegur oleh negara-negara anggota lain atas dukungannya terhadap separatis di Ukraina timur. Skenario lainnya, KTT G20 2022 di Bali akan menjadi panggung perundingan damai dan awal dimulainya akhir peperangan. Dalam waktu kurang dari lima bulan, kita akan tahu lebih banyak.