Event wrap: ‘My Beautiful Indonesia’
Minggu, 13 April 2014, adalah hari bersejarah bagi University of Queensland Indonesian Student Association (UQISA). Pada hari Minggu tersebut, melalui acara “My Beautiful Indonesia”, telah diresmikan UQISA Care program, yang merupakan charity program dengan fokus membantu anak-anak berkebutuhan khusus untuk pengobatan, terapi dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
UQISA Care bekerja sama dengan Rumah Azaki, sebuah yayasan sosial di daerah Gunung Putri, Jawa Barat, yang melayani anak-anak berkebutuhan khusus yang juga berasal dari keluarga yang kurang mampu. Febri Sidjaja, salah satu dari Project Officer acara ini mengatakan Rumah Azaki adalah organisasi yang dipilih UQISA pada kesempatan ini. Selain itu, donasi yang diterima juga diberikan untuk anak berkebutuhan khusus bernama Elsa Brigitta yang membutuhkan dana operasi skoliosis sekitar Rp 174.000.000 (kira-kira AUD 17,400).
Febri juga menambahkan bahwa situasi di Indonesia berbeda dengan di Australia, dimana disabilitas adalah salah satu prioritas utama. Di Indonesia, bantuan pemerintah masih sangat terbatas, sehingga dana yang tersedia untuk pengobatan dan terapi masih sangat sulit didapatkan. UQISA Care adalah program lanjutan dari UQISA Hope, yang juga adalah charity program dengan tujuan mengumpulkan dana pendidikan untuk anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu.
“My Beautiful Indonesia” menyajikan serangkaian acara yang dimulai dengan workshop batik, tari daerah modern, drama musikal anak-anak, peragaan busana, lelang hingga pameran fotografi. “Rencananya ada flash mob satu hari sebelum acara, tapi sayangnya kami tidak mendapatkan ijin dari security di UQ”, jelas Febri saat menjabarkan rangkaian acara “My Beautiful Indonesia”.
Workshop batik membuka rangkaian acara ini, yang dilanjutkan dengan tarian pembuka oleh Tim Nusantara New Creation yang menampilkan perpaduan dari tari daerah asal Bali dengan modern dance. Drama musikal Sangkar Emas oleh suara indah anak-anak Indonesia di Brisbane, yang dipandu oleh para produser, Sari Candra dan Agnes Maria Sumargi, didukung dengan alunan merdu tim Angklung UQISA. Tari Saman Brisbane juga mendukung suksesnya drama musikal ini. Indonesia memiliki banyak suku dan daerah dengan baju daerah masing-masing, dan panitia memilih pakaian daerah Minangkabau, Sunda, Irian Jaya dan Maluku yang ditampilkan pada acara spesial hari itu.
Didukung oleh para sponsor utama, Garuda Indonesia, Sanggar Permata dan Heda Batik, acara ini menuai sukses dan menarik kurang lebih 100 hadirin. Salah satu hadirin yang menghadiri acara ini tak lain adalah Freya Ostapovich, parliament member dari Stretton, Queensland. Lelang $500 tiket pulang balik Brisbane-Jakarta dengan penerbangan Garuda Indonesia berhasil menjadi penutup acara di sore hari itu, menambah total donasi yang dikumpulkan dari tiket dan donasi lainnya. Total donasi yang dikumpulkan malam itu adalah sejumlah AUD 3,500 (AUD 3,321 donasi acara dan AUD 179 donasi online).
Acara ini telah berhasil menunjukan keindahan kultur Indonesia kepada masyarakat Indonesia di Brisbane dan juga masyarakat dari negara lain yang tinggal di Brisbane dengan tujuan mulia untuk membantu anak-anak yang kurang mampu. Tak ketinggalan, panitia juga menyediakan snack asli Indonesia bagi para hadirin, seperti kelepon, bakwan, lumpia, dan lain-lain. Hadirin tidak hanya mendapatkan hiburan dari acara, tetapi juga dapat mencoba makanan kecil khas Indonesia atau sekadar melepas “kangen rumah”.
AIYA Queensland berpartisipasi dalam membantu persiapan acara dan juga sebagai performer di acara pembuka sore itu, yakni tari pembuka dan juga sebagai model baju daerah Papua. Harry dari AIYA Queensland telah bersedia untuk memberikan kesan pribadi mengenai acara ini, dan partisipasinya dalam menyukseskan kelangsungan acara ini.
Harry Roache-Wilson, President of AIYA Queensland:
A few weeks ago, Wenny Sunarharum, a food science researcher and member of both AIYA QLD and UQISA asked me whether I wanted to be a volunteer performer at the My Beautiful Indonesia event. Prior to this AIYA QLD had formally offered assistance at the event but being asked to perform was something I hadn’t anticipated. Immediately my internal monologue started ticking over, generating excuses in a vain attempt to insulate myself from embarrassment or perceived failure. Ultimately I said something like, ‘if you need a performer, I can do it’ (it was a charity event, after all).
My reaction to being asked to perform is not uncommon. Daily, weekly, inevitably, we’re all asked to perform in some way, whether it be at work, at school, for family, etc. All too often we excuse ourselves by deferring to our internal monologue and so lose out on opportunities to grow and learn. Luckily I ignored my internal monologue on this occasion and soon it was confirmed by Wenny that I was needed.
Fast forward a few weeks and after a series of practices at Wenny’s house, getting to know her family and a bit about their cultural background (and learning some new Java slang), I was ready to dance. The performance came and went without a hitch, the event rolled on and, like newtonian physics, the apprehension I felt leading up to the performance was paid back, equal and opposite, by the good feeling that arises after doing something scary. I suspect my dance moves were a bit stiff and lacked the fluency-of-movement expressed by my co-performers, but that’s not the point. The small role I played at UQISA’s My Beautiful Indonesia illustrated something significant for all who study a new language; getting out of your comfort zone is at the core of language acquisition.