Versi bahasa Inggris, klik di sini

Diulas dan ditulis oleh Meylisa Sahan – AIYA National’s Blog Editor 

Beberapa minggu belakangan warganet (sebutan untuk pengguna internet) di Indonesia dihebohkan dengan kehadiran film pendek TILIK karya rumah produksi Ravacana Films. Memes, kutipan film, cuplikan adegan film dan sebagainya wara-wiri di media sosial seolah menyatakan bahwa film ini membawa dampak yang cukup besar di tengah situasi melawan pandemi corona. Film ini seolah menjadi hiburan atau angin segar ketika rasanya setiap saat kita terus menjadi tegang karena angka pasien covid meningkat, walaupun setelah menonton film pendek ini ketegangan itu malah semakin meningkat haha. 

Tilik (menjenguk – bahasa Jawa) merupakan sebuah film pendek dengan durasi tiga puluh satu menit, menceritakan sebuah rombongan ibu-ibu dari suatu desa yang berangkat menggunakan truk ke kota guna menjenguk ibu lurah yang sakit. Mereka terpaksa menggunakan kendaraan ini karena bus yang biasanya digunakan tidak bisa dipesan dadakan. Dari sinilah semua cerita dan dialog jahil dimulai. Film pendek ini pertama kali dibuka dengan adegan truck yang berjalan menyusuri jalanan aspal desa menuju kota, terdengar beberapa percakapan para penumpang satu dengan yang lainnya. Pembicaraan ngalor-ngidul ini ternyata memunculkan nama Dian, si kembang desa yang ternyata memantik perhatian yang besar dari seluruh penumpang dalam truk ini.

Perempuan Beda Generasi

Mengambil latar tempat truk dan mengusung pengambilan gambar road trip nyatanya tidak membuat penonton kemudian menjadi bosan. Hal ini karena fokus perhatian penonton tercurah penuh kepada apa yang dibicarakan oleh ibu-ibu ini. Sebagai penonton, saya kemudian menyimpulkan ada dua tokoh utama yang begitu kuat dalam film ini yaitu Bu Tejo dan Dian. Tokoh Dian walaupun hanya muncul beberapa menit di akhir film nyatanya punya andil besar dalam “terhiburnya” para penumpang perjalanan ini.

Dian si primadona kampung (Sumber : Film TILIK)

Dian yang sejak awal namanya disebut menjadi topik paling hangat sampai memicu pertengkaran sengit. Lain lagi Bu Tejo yang rasanya begitu pintar, punya kuasa dan tahu akan segala hal. Kedua tokoh ini mewakili perempuan beda generasi dan kebudayaan, Dian adalah bentuk perempuan modern yang banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dan memposisikan pernikahan sebagai prioritas namun bukan jalan keluar. Sebaliknya bagi Bu Tejo memandang pernikahan adalah harus dan tepat waktu sesuai umur yang ditetapkan lingkungan, katakanlah 25 tahun. 

Bu Tejo salah satu tokoh penting dalam perjalanan film ini (Sumber : Film TILIK)

Kedua pandangan ini yang secara tersirat disampaikan dalam film bahwa seorang perempuan ketika masuk dalam lingkungan atau society akan selalu dituntut untuk ikut dalam peraturan yang sebenarnya tidak banyak menguntungkan perempuan itu sendiri. Film pendek ini seolah ingin menjelaskan bahwa di masa modern ini masih banyak stigma terhadap perempuan yang memilih untuk bekerja dan berpenghasilan dianggap sebagai golongan perempuan yang “tidak baik”. Kita tentu tidak dapat menyalahkan pola pikir Bu Tejo yang bisa dianggap sebagai “orang dulu”. Penggalan kisah Dian dan Bu Tejo juga semacam menceritakan bahwa gerakan perempuan mendukung perempuan lain atau woman support woman belum sepenuhnya terlaksana.

Gosip

Menjadi salah satu topik utama dalam film ini, gossip bukan lagi hal baru dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap hari kita mendengar berbagai jenis gossip. Berbagai saluran televisi di Indonesia punya acara gossip, media online menayangkan gossip, berita dimana-mana menghasilkan gossip. Gossip is everywhere. Hal ini kemudian didukung dengan kehadiran media sosial yang penggunanya semakin berjamur. Pertukaran informasi silih berganti, terkadang informasi palsu dianggap benar pun begitu sebaliknya.

Gosip sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu dan buktinya memang menjadi bagian keberlangsungan hidup manusia. Vice Indonesia dalam tulisannya berjudul “Ternyata Kebiasaan Bergosip Berperan Penting Atas Kelangsungan Hidup Manusia” menjelaskan bahwa teori perkembangan gosip yang paling bisa diterima datang dari antropolog Robin Dunbar. Dunbar, dosen jurusan psikologi evolusioner di University of Oxford, memaknai gosip sebagai diskusi tentang topik sosial. Berdasarkan definisi ini, penelitiannya tentang percakapan manusia pada 1997 menemukan bahwa gosip menyumbang sekitar 65 persen dari bahan pembicaraan saat orang-orang sedang berada di mal dan tempat umum lainnya. Tanpa gosip, kita akan kesulitan mempertahankan persatuan kelompok sosial yang lebih besar.

Tilik adalah salah satu film cerdas yang mengangkat pola keseharian masyarakat kita pada umumnya. Film ini menampilkan sebuah kenyataan secara gamblang, tegas dan tepat. Memotret kebiasaan yang sering dihadapi oleh masyarakat dalam kesehariannya membuat film ini rasanya begitu dekat. Hal ini juga berkat local value yang ditampilkan melalui dialek dan bahasa Jawa sepanjang film, seperti mendengar pembicaraan ibu-ibu tetangga dekat rumah. Jika diperhatikan dengan seksama sebenarnya film ini memiliki misi yang besar untuk menjelaskan dampak hoax atau berita bohong yang tersebar luas di lingkungan pergaulan seseorang. Akan selalu ada satu sosok yang dianggap memiliki kemampuan mengakses informasi lebih sehingga apapun yang dikatakannya menjadi benar. Istilah “orang pintar” kemudian dianggap sebagai Tuhan yang mengetahui banyak hal. Terlepas dari informasinya benar atau salah, toh tidak ada yang merasa perlu untuk memverifikasinya. Nyatanya, Indonesia negara yang memiliki budaya kolektif yang besar seolah memberi ruang bagi orang-orang seperti ini.

Tokoh-tokoh utama yang hadir dalam film ini juga merepresentasikan kita secara pribadi. Bu Tejo yang melek teknologi lalu memposisikan diri sebagai yang paling benar. Yu Ning si pembela sejati yang merasa bahwa apa yang dia yakini adalah benar, bahwa Dian bukan perempuan yang aneh-aneh seperti yang diceritakan oleh Bu Tejo walaupun pada kenyataannya Yu Ning tidak melakukan cross check informasi dan hanya menempatkan referensinya sendiri sebagai yang paling benar. 

Yu Ning, kerabat jauh dari Dian (Sumber : Film TILIK)

Lain lagi dengan Yu Sam dan Bu Tri, memainkan peran pendukung mereka berdua semacam suara-suara halus dan bimbang ketika ibadah gossip dimulai. Ini juga merepresentasikan beberapa golongan masyarakat yang ketika diterpa arus informasi hanya ikut-ikut saja bahkan terkadang menjadi oknum adu domba. Kita juga bisa menjadi Dian. Siapa yang bisa menjamin bahwa salah satu diantara kita tidak pernah dibicarakan dalam pembicaraan orang lain? Tidak, kita tidak tahu itu.

Yu Sam dan Bu Tri, dua tokoh tambahan pemantik suasana gosip di truk (Sumber : Film TILIK)

Saya menikmati pengalaman menonton film pendek ini karena banyak hal yang bisa dipelajari. Saya menyukai kedekatan budaya yang ditampilkan dan tidak semata-mata menempatkan kualitas film hanya pada berbagai macam angle. Kisah-kisah slice of life seperti budaya korupsi dan pergunjingan mendapat porsi yang pas dalam setiap adegannya.  Film ini semacam salah satu terobosan yang menyatakan kekuatan dialog dan pemain adalah hal utama dalam sebuah film dibandingkan kualitas kamera, suara bahkan angle itu sendiri. Walaupun pada kenyataannya sebagai sepaket cerita yang utuh rasanya sulit untuk mencari celah kesalahan atau hal yang tidak puas bagi saya sebagai penonton. Scoring musik yang pas ditambah pemandangan indah yang ditawarkan sepanjang perjalanan film ini, siapa yang mau menolak? Plot twist yang dihadirkan memang tidak terlalu menggigit, butuh banyak penjelasan termasuk siapa sebenarnya bapak-bapak dalam mobil? Apakah suami bu lurah yang sudah bercerai, bapaknya Fikri atau om-om yang dilihat warga berjalan bersama Dian di mall? Entahlah. Teka-teki ini rasanya harus diselesaikan bersama.

Ada yang ingat adegan ini? Haha (Sumber : Film TILIK